Saturday, November 28, 2009

Makna Natal yang Sejati


Oleh: John Adisubrata

Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.” (Yohanes 1:9-10)

Ketika Yesus dilahirkan di Betlehem lebih dari 2000 tahun yang lalu, peristiwa itu hanya disaksikan oleh orang-orang awam saja. Kedatangan Raja di atas segala raja, Sang Raja Damai yang sudah dinubuatkan beribu-ribu tahun sebelumnya, bahkan difirmankan oleh TUHAN sendiri (Kejadian 3:15), tidak digenapi dengan penuh kemegahan di hadapan penguasa-penguasa dunia, orang-orang terkenal, atau para bangsawan lainnya.

Melainkan sebaliknya, Ia lahir di dalam sebuah kandang hewan peliharaan, dibungkus dengan sehelai lampin dan dibaringkan di dalam sebuah palungan kayu yang tidak beharga, karena pada saat itu tidak tersedia satu pun kamar yang kosong di rumah-rumah penginapan bagi ibu-Nya, Maria, serta Yusuf, suaminya. (Lukas 2:7)

Kisah kelahiran-Nya yang tampak tidak berarti dan sangat sederhana itu ternyata bisa bertahan mengarungi waktu, … selalu relevan bagi kehidupan umat manusia sepanjang masa. Setiap tahun setiap generasi di seluruh dunia, secara langsung atau tidak, mendengar, mengenang dan memperingati kejadian bersejarah tersebut, yang terbukti sampai sekarang masih tetap berkuasa untuk mengubah sikap hidup mereka.

Selain mengirim ketiga orang majus dari Timur (Matius 2:1-12), Tuhan hanya memakai orang-orang biasa saja sebagai saksi-saksi kelahiran Anak-Nya yang tunggal itu. Alkitab mengatakan, bahwa gembala-gembala yang sedang menjaga kawanan ternak mereka di padang dipilih oleh-Nya untuk menjadi saksi-saksi pertama kelahiran Kristus. Bukan para ahli Taurat, orang-orang Farisi atau orang-orang terpelajar lainnya!

Malam itu mereka melihat dan mendengar pujian yang dinyanyikan oleh sejumlah besar bala tentara sorga: Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” (Lukas 2:14)

Padahal pada abad yang pertama, status para penggembala domba di Israel tergolong amat rendah. Kesaksian-kesaksian mereka tidak bisa diterima oleh orang-orang Yahudi di sistim pengadilan mereka. Kendatipun demikian, Tuhan memilih dan menjadikan mereka saksi-saksi yang sah untuk memberitakan kedatangan Tuhan Yesus di dunia. Injil Lukas mencatatnya seperti ini: “Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka.” (Lukas 2:18)

Sampai saat ini Tuhan masih tetap memilih orang-orang biasa sebagai saksi-saksi-Nya untuk memperingati dan memberitakan kabar gembira mengenai kelahiran seorang Juruselamat yang terjadi 2000 tahun yang lalu. Ia terus menggunakan orang-orang awam seperti kita untuk menyampaikannya kepada orang-orang yang sangat memerlukannya.

Ya, … Tuhan mau dan bisa memakai kita! Oleh karena itu kita tidak perlu mempertanyakan tujuan-Nya memanggil dengan meragukan kelayakan diri kita sendiri: “Apakah Tuhan bisa memakai seorang yang tidak berarti seperti aku, yang tidak memiliki kepandaian apa-apa? Apakah aku mampu melakukannya?”

Jika Allah Bapa di sorga mau menggunakan para gembala di padang sebagai saksi-saksi yang mutlak atas kelahiran Anak-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus, tentu Ia juga berkenan memakai kita. Yang dituntut oleh-Nya hanya sikap hati yang taat, yang mau memberitakan peristiwa tersebut kepada orang-orang lain seperti apa adanya, seperti yang tertulis di dalam firman Tuhan. Tanpa menambahkan ‘embel-embel’ lain yang sudah dilazimkan oleh umum, dan yang sekarang ternyata berhasil menyelewengkan kebenaran makna hari bersejarah itu.

Yesus-lah inti perayaan hari Natal yang diadakan setiap tahun di seluruh dunia. Dia-lah penyebab hari tersebut dirayakan sebagai suatu peringatan akan kedatangan Allah yang telah bersedia merendahkan diri-Nya sendiri, … menjelma menjadi manusia, agar kita, anak-anak manusia, bisa disebut sebagai anak-anak Allah. (Galatia 3:26)

Setiap orang mempunyai arena-arena sendiri yang bisa dipakai sebagai alat untuk membagikan kebenaran firman Tuhan mengenai peristiwa itu. Baik secara perseorangan, lokal, nasional, maupun internasional. Semua itu mempunyai harga yang sama, karena bukan besarnya jumlah pendengar/pembaca/pemirsa yang berkenan di hati-Nya, melainkan motif-motif pelayanan mereka yang bersedia melakukannya.

Marilah kita, melalui setiap media yang sudah disediakan oleh Tuhan untuk kita, bersama-sama memproklamirkan tanpa kompromi kisah kelahiran Sang Penebus. Menggunakan setiap kesempatan yang tersedia melalui arena masing-masing, marilah kita menjadi saksi-saksi-Nya yang mau membagikan kebenaran makna kisah Natal seperti apa adanya, … seperti yang sudah dilakukan oleh para penggembala domba di Betlehem pada saat kelahiran Tuhan kita, Yesus Kristus!

Agar … dunia mengerti kebenaran ayat ini: Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16)

Terpujilah nama Tuhan sampai selama-lamanya. Haleluya!

John Adisubrata
Desember 2007
Diolah kembali: November 2009

Friday, October 9, 2009

Tetapi ... Engkau Tidak!


Oleh: John Adisubrata

Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak. (Amsal 25:11)

Beberapa hal yang bisa terjadi di sekitar kita mempunyai kuasa sebesar setiap perkataan yang kita ucapkan tepat pada waktunya. Di lain pihak, kata-kata yang tidak diutarakan pada setiap kesempatan itu, jika waktunya telah berlalu, akan membuat kita menyesalinya seumur hidup. Keharmonisan hidup pasangan-pasangan suami istri sering kali menjadi berkurang, oleh karena mereka tidak menerapkan saran yang amat penting ini.

Di dalam hidup berumah-tangga umat Tuhan dianjurkan untuk selalu saling mengalah, saling menghormati, saling menghargai, dan terutama mengasihi pasangan-pasangan hidup mereka, seperti yang diperintahkan oleh-Nya di Kolose 3:19, 1 Petrus 3:1,7 dan di Titus 2:4,5. Tetapi keangkuhan sikap manusia sering kali menyebabkan mereka menolak untuk melaksanakannya. Sikap yang tidak mau mengalah, tidak mau kelihatan lemah, … mempengaruhi mereka untuk mengabaikan setiap tindakan ‘bijak’ yang patut dipuji, yang sudah dilakukan oleh pasangan-pasangan mereka.

Sahabat kami yang sering kali dengan suaminya saling menjatuhkan nama baik sendiri di depan umum melalui lontaran-lontaran komentar yang sinis, berpendapat, bahwa jika ia membenarkan nasehat suaminya yang pada awalnya tidak ia setujui, akan membuat ‘kepalanya menjadi besar’. Padahal di luar pengetahuan suaminya, ia mengakui dengan terus terang kepada kami setelah melihat hasilnya, bahwa saran tersebut ternyata betul sekali dan lebih menguntungkan ekonomi keluarganya. Kejadian seperti itu sering kali terulang, di mana secara bergantian, tanpa mau mengalah, mereka berusaha untuk saling mempermalukan di depan orang-orang. Saling menyindir menggunakan kata-kata yang pedas, mulai dari paras, bentuk tubuh, sampai karakter dan kelakuan masing-masing. Bahkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu diketahui oleh umum, menjadi terbongkar gara-gara itu.

Seandainya saja mereka saling mengindahkan, saling menghargai pendapat, dan terutama saling mengasihi, … jika perlu saling memuji di setiap kesempatan yang ada, saya jamin, perang dingin yang sudah lama mencuri damai sejahtera kehidupan rumah tangga mereka pasti berakhir! Karena … di suatu ketika, jika saat mereka tiba untuk berpisah selama-lamanya, saya yakin, yang ditinggal mati akan menyesali tindakan-tindakannya yang keliru tersebut. Seperti ungkapan sebuah pepatah: Nasi sudah menjadi bubur, … ia juga sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahannya!

Raja Salomo memberi nasehat: Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya!” (Amsal 15:23) Sebelumnya, di bagian kitab yang sama, ia menulis: “Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia.” (Amsal 12:25) Selain itu nabi Yesaya juga menganjurkan, agar kita mempunyai lidah seorang murid, supaya dengan perkataan kita dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. (Yesaya 50:4)

Saya pernah membaca catatan singkat sangat mengharukan yang diambil dari buku harian seorang wanita. Ungkapan hatinya dalam bentuk sebuah surat yang ditujukan secara pribadi kepada suaminya, dibacakan olehnya sendiri pada suatu upacara yang amat penting:

Aku teringat ketika aku mengendarai mobilmu yang masih baru, yang oleh karena keteledoranku telah hancur di jalan raya. Aku mengira engkau akan menunjukkan wajah geram tidak percaya, dan menyumpahi diriku. Tetapi … engkau tidak!

Aku teringat ketika aku memaksamu untuk pergi bersamaku ke pantai. Engkau menolak, karena engkau tahu hari itu hujan deras akan turun. Akhirnya kita pergi, dan ternyata engkau benar! Aku merasa begitu yakin, bahwa engkau tidak akan berdiam diri dan akan menegur aku dengan keras: “Apa kataku!” Tetapi … engkau tidak!

Pernah sekali aku menumpahkan segelas blueberry juice di atas jas putihmu yang masih baru. Aku tahu engkau marah dan menyalahkan tingkah-lakuku yang keterlaluan. Tetapi … engkau tidak!

Masih ingatkah engkau pada saat kita pergi ke pesta reuni sekolah kita malam itu? Aku keliru ketika menganjurkan agar engkau berpakaian casual saja. Engkau hadir hanya mengenakan celana jeans dan baju T Shirt biasa, yang membuat engkau menjadi salah tingkah sekali! Aku tahu engkau merasa tidak senang dan ingin lari ke luar seketika itu juga untuk meninggalkan aku seorang diri di sana. Tetapi … engkau tidak!

Aku berhasrat untuk mengutarakan isi hatiku kepadamu, bagaimana aku mencintaimu dan … menghargai semua yang telah engkau lakukan itu, jika engkau tiba kembali dari tugas militermu di Afghanistan. Tetapi … engkau tidak!

Raja Salomo pernah berkata: Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1) Ia meneruskannya di pasal yang sama: “… ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; …” (Pengkhotbah 3:7b)

Memang benar, segala sesuatu ada waktunya. Tetapi kenyataan lain yang juga harus diketahui: Masa-masa itu ada batasnya! Apabila telah berlalu, kesempatan yang ada tersebut juga akan hilang untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, janganlah sampai kita melewatkan waktu kelak dengan menyesalinya seumur hidup, sebab kita sudah memendam di dalam hati kita kata-kata tak terucapkan, yang seharusnya didengarkan oleh orang-orang yang pada waktu itu sangat membutuhkannya.

Janganlah sekali-kali mengabaikan arti ayat ini: Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang.” (Amsal 16:24)

Oleh karena itu, … menunggu apa lagi, katakanlah sekarang juga kepada pasangan, anak-anak, keluarga, bahkan sahabat-sahabat anda, kata-kata yang memang sudah menjadi hak mereka dari semula! Janganlah menunggu sampai Tuhan harus menegur anda dengan keras: “Umat yang Kupilih bersedia merendahkan diri dan melakukannya, TETAPI … ENGKAU TIDAK!

John Adisubrata
October 2009

Thursday, September 17, 2009

Paras Tuhan Yesus (2)


Oleh: John Adisubrata

JAMES CAVIEZEL

Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia--begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi--” (Yesaya 52:14)

Film The Passion of the Christ karya Mel Gibson membuka pengertian untuk pertama kalinya bagi setiap penonton, bahkan para pengikut Kristus sendiri, bagaimana dahsyatnya penderitaan yang harus dilalui oleh Tuhan Yesus sebelum Ia dipakukan di kayu salib, hanya untuk menanggung dosa-dosa segenap umat manusia di dunia. Film tersebut juga membantu secara grafis arti ayat-ayat yang ditulis oleh nabi Yesaya di pasal 52 dan 53, yang sering kali dicomot keluar begitu saja dan diuraikan di luar pengertian keseluruhan pasal.

James Caviezel, seorang aktor Hollywood yang sebelumnya membintangi beberapa film terkenal lainnya, seperti: My Own Private Idaho (1991), The Thin Red Line (1998) dan The Count of Monte Christo (2002), memerankan Yesus di sana. Sampai saat ini wajahnyalah yang paling dikenal dan dikenang oleh orang-orang sebagai Kristus, melebihi wajah aktor-aktor lain yang pernah merepresentasikan kehidupan-Nya di layar putih sebelumnya. Peran yang ia bawakan benar-benar berhasil mempesona perhatian para penonton di seluruh dunia. Sekarang, jika orang-orang membicarakan Kristus, yang selalu ada di dalam pikiran mereka adalah bayangan paras James Caviezel, gara-gara kedahsyatan pengaruh film tersebut.

Entah mengapa, semenjak saya lahir baru lebih dari 12 tahun yang lalu, selama mempelajari firman Tuhan, saya selalu mengerti dan mempunyai pendapat, bahwa bayangan paras Tuhan Yesus bagi saya kurang-lebih seperti paras James Caviezel: tampan, bermata coklat (warna kedua mata James Caviezel sebenarnya adalah biru), berambut hitam yang berombak, bertubuh tinggi dan gagah, berbahu lebar, berdada tegap, bersikap lembut tapi tegas, penuh kharisma, selalu tampak menonjol di tengah-tengah kumpulan banyak orang, dan yang paling penting, mempunyai wajah yang bersinar penuh dengan kasih! Itulah pendapat saya jauh sebelum film itu ada!

Pandangan itu terpupuk oleh pengalaman-pengalaman saya sendiri selama ini bersama Roh Kudus. Pada saat saya lahir baru, hari Minggu tanggal 30 Maret 1997 jam 2:30 siang, saya berjumpa dengan Tuhan untuk pertama kalinya. Semenjak saat itu saya tahu, Dia dahsyat luar biasa! (Baca: Semuanya adalah Kasih Karunia) Lalu ketika saya mempersiapkan diri untuk menulis buku Sekilas dari Keabadian di tahun 2001, hasil percakapan saya dengan Ps Ian McCormack yang mendetil mengenai pertemuannya dengan Tuhan Yesus saat mati surinya, meneguhkan segala sesuatu mengenai Dia yang dengan iman sudah ada di dalam bayangan pikiran saya sendiri.

Saya yakin, paras Yesus sekarang masih tetap sama seperti paras Yesus dahulu, pada masa pelayanan-Nya di dunia. Kitab Ibrani 13 ayat 8 mencatat: Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.” Perbedaannya sekarang hanya, … Ia bukan manusia biasa lagi, tetapi Tuhan Yang Mahakuasa! (Wahyu 1:9-20)

Kesimpulan yang bisa saya ambil selama ini adalah:

1. Tuhan Yesus pasti berparas cakap, karena Ia adalah Allah yang menjadi contoh/teladan gambar dan rupa manusia biasa. (Kejadian 1:26) Rasul Yohanes menulis: “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” (Yohanes 1:18) Kalau James Caviezel, Brad Pitt atau Mel Gibson, manusia-manusia biasa penuh dosa yang dilahirkan dari keluarga-keluarga yang juga berdosa, bisa mempunyai paras sempurna seperti itu pada saat mereka berumur 30-an, mengapa Yesus tidak? Bukankah mereka diciptakan oleh-Nya menurut gambar-Nya? Sebelum dilahirkan, Yesus sudah dinubuatkan sebagai Anak Allah yang kudus, tidak bercacat, tidak berdosa dan murni berasal dari sorga: ‘Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Lukas 1:35) Bukankah sebagai orang percaya, kita tahu, bahwa pengaruh dosalah yang menjadi asal-mula segala kekurangan dan ketidak-sempurnaan ‘hidup’ manusia? Hal itu tentu tidak berlaku bagi-Nya, karena Ia sama sekali tidak berdosa!

2. Tuhan Yesus pasti berperawakan tegap dan gagah, sebab sebelum masa pelayanan-Nya di dunia, Ia bekerja sebagai seorang Tukang Kayu. Setiap laki-laki berumur 30-an yang bekerja di bidang itu biasanya mempunyai tubuh yang atletis. Kesibukan mereka sehari-hari yang selalu menggunakan tenaga jasmani, akan mempengaruhi pertumbuhan perawakan mereka dengan cepat. Apalagi bagi orang-orang yang berasal dari Timur Tengah! Injil Lukas mencatat tentang pertumbuhan-Nya seperti ini: “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Lukas 2:52)

3. Tuhan Yesus pasti tampak menonjol di tengah-tengah kumpulan banyak orang, karena paras, bentuk tubuh, sikap, tatakrama, kharisma dan pancaran cahaya wajah-Nya yang penuh kasih, langsung membuat Dia tampak berbeda sekali dengan orang-orang lain. Injil Yohanes mencatat peristiwa pertemuan pertama antara Yesus dan Yohanes Pembaptis seperti ini: ‘Pada keesokan harinya Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.” (Yohanes 1:29) Yohanes Pembaptis bisa langsung mengenali-Nya di antara banyak sekali orang-orang yang khusus datang kepadanya untuk dibaptis, padahal ia belum pernah bertemu dengan Yesus!

Itu hanya beberapa argumentasi saja dari banyak sekali ayat-ayat di dalam firman Tuhan yang membuktikan, bahwa Yesus bukan seorang yang berwajah buruk, bertubuh kurus sekali atau agak gemuk atau pendek. Selain itu Ia juga bukan seorang yang berparas tidak menawan hati, sehingga seolah-olah diabaikan begitu saja oleh masyarakat pada masa pelayanan-Nya di dunia! Karena Yesaya 52:14 dan 53:2 sebenarnya adalah bagian-bagian dari nubuatan terpenting tentang saat-saat penderitaan luar biasa yang akan ditanggung oleh-Nya di kayu salib. (Yesaya 52:13-53:12) Kedua ayat tersebut sebenarnya melukiskan kengerian wajah dan tubuh Kristus yang sudah tidak bisa dikenali lagi, oleh karena siksaan-siksaan biadab yang seharusnya ditimpakan kepada kita, umat yang wajib dihukum!

Nabi Yesaya mencatatnya: “Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” (Yesaya 53:5) Penderitaan Yesus yang sangat memilukan hati tersebut, berhasil dirangkum dan dikisahkan kembali oleh Mel Gibson dengan jitu sekali di dalam filmnya: The Passion of the Christ!

Nabi Yesaya juga menubuatkan kelahiran Tuhan Yesus di awal kitabnya: “Pada waktu itu tunas yang ditumbuhkan TUHAN akan menjadi kepermaian dan kemuliaan, dan hasil tanah menjadi kebanggaan dan kehormatan bagi orang-orang Israel yang terluput.” (Yesaya 4:2) Dalam bahasa Inggris ayat itu diterjemahkan dari bahasa aslinya, bahasa Ibrani, seperti ini: “In that day the Branch of the LORD will be beautiful ang glorious, and the fruit of the land will be the pride and glory of the survivors in Israel.” (NIV)

Kata terjemahan beautiful, yang bisa berarti: tampan, cantik atau indah, dipergunakan di situ untuk menggambarkan keindahan Tunas yang akan tumbuh, yaitu Tuhan Yesus Kristus, yang olehnya dinubuatkan akan lahir kurang-lebih 700 tahun kemudian. Bandingkanlah kata Tunas di dalam ayat itu dengan kata Tunas di Yesaya 53:2. Keduanya membicarakan subyek yang sama, yaitu seorang Juruselamat dunia! Oleh karena itu, tidak mungkin nabi Yesaya mengkontradiksi nubuatannya sendiri mengenai keadaan (paras) Tunas tersebut!

Kata Ibrani yang sama juga dipergunakan untuk menggambarkan paras raja Daud di kitab Samuel: ‘Lalu jawab salah seorang hamba itu, katanya: “Sesungguhnya, aku telah melihat salah seorang anak laki-laki Isai, orang Betlehem itu, yang pandai main kecapi. Ia seorang pahlawan yang gagah perkasa, seorang prajurit, yang pandai bicara, elok perawakannya; dan TUHAN menyertai dia.” (1 Samuel 16:18) Dalam bahasa Inggris ayat tersebut diterjemahkan seperti ini: “One of the young men said, I have seen a son of Jesse the Bethlehemite who plays skillfully, a valiant man, a man of war, prudent in speech and eloquent, an attractive person; and the Lord is with him.” (Amplified)

Membandingkan kedua kata terjemahan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di dalam Alkitab dari sebuah kata Ibrani yang sama, yaitu: beautiful (indah/tampan/kepermaian) di Yesaya 4:2, dan an attractive person (seorang yang menarik/tampan/elok perawakannya) di 1 Samuel 16:18, membuktikan, bahwa ayat-ayat yang tertulis di kitab Yesaya 52:14 dan 53:2 tidak bisa dicomot keluar begitu saja dari konteksnya, lalu diartikan secara sembarangan. Selain itu tidak ada ayat-ayat lain di dalam Alkitab yang mendukung pengertian yang keliru tersebut. Kedua ayat itu harus ditelaah secara keseluruhan di dalam pengertian pasal-pasalnya sesuai maksud nabi Yesaya yang sebenarnya.

Saya percaya sekali, Ia adalah Raja Penebus yang gagah perkasa, sebab saya pernah bertemu dengan Dia secara pribadi. Keindahan Tuhan terlampau dahsyat untuk dilukiskan dengan kata-kata. Oleh karena itu saya berjanji kepada-Nya untuk selalu memberitakan kebenaran tersebut sesuai dengan firman-Nya.

Terpujilah nama Tuhan untuk selama-lamanya. Haleluya! Amin!

John Adisubrata
September 2009

Wednesday, September 2, 2009

Paras Tuhan Yesus (1)


Oleh: John Adisubrata

PARAS ILHAM

“Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.” (Yesaya 53:2)

Ketika anda membaca ayat di atas, Yesaya 53:2, apakah yang menjadi kesimpulan anda mengenai maksud yang ditulis oleh nabi Yesaya di sana? Jelas sekali, keseluruhan isi pasal ke-52 dan 53 kitab itu, menubuatkan 700 tahun sebelumnya kedatangan seorang Raja Damai yang akan memberitakan kabar baik, kabar keselamatan bagi umat Tuhan di Sion (Yesaya 52:7), dan juga penderitaan luar biasa yang harus ditanggung oleh-Nya demi tercapainya tujuan itu. Tetapi, apakah melalui Yesaya 53:2 ia juga menubuatkan paras Tuhan Yesus Kristus pada masa hidup-Nya di dunia? Memang jika dibaca di luar konteks, seolah-olah ayat tersebut menggambarkan Yesus sebagai seorang yang berparas buruk, atau paling sedikit … tidak tampan. Wajah yang tidak menawan hati, wajah yang tidak menarik sama sekali!

Sampai saat ini saya masih sering mendengar hamba-hamba Tuhan menelaah ayat itu dengan menyimpulkannya persis seperti arti kalimat yang tertulis di sana, di luar pengertian seluruh pasal yang sebenarnya dimaksudkan oleh nabi Yesaya. Ketika saya mendengarnya terakhir kali beberapa minggu yang lalu melalui acara TV: The Armour of God, di mana ayat tersebut juga dibahas seperti itu, saya yang menjadi amat penasaran oleh karenanya, berusaha mempelajari Yesaya 52, 53 dan 54 sekali lagi, untuk memastikan kebenaran pengertian saya selama ini.

Saya tahu, setiap orang mempunyai bayangan sendiri-sendiri mengenai paras atau bentuk tubuh Tuhan Yesus sesuai pengertian pribadi, yang tentu saja bisa terpengaruh oleh pendidikan atau lingkungan mereka. Ada yang terpengaruh oleh patung-patung penyaliban-Nya yang dipajang di gereja, yang tidak jarang menggambarkan Dia sebagai seorang laki-laki yang bertubuh kurus. Ada yang membayangkan wajah-Nya sebagai seorang pria berewok berambut panjang, dengan lingkaran ‘halo’ yang berkilau-kilauan di atas kepala-Nya, seperti lukisan-lukisan karya para seniman termasyhur abad-abad yang sudah berlalu.

Bahkan ada yang terpengaruh oleh paras aktor-aktor terkenal yang pernah memerankan kisah hidup-Nya di dalam movies atau musicals, baik yang sesuai dengan firman Tuhan maupun yang setengah fiksi. Sering kali Hollywood menyajikan Yesus secara tidak realistis, seolah-olah Dia adalah seorang pria Anglo-Saxon yang berambut pirang dan bermata biru. Di dalam movie King of Kings (1961), Jeffrey Hunter memerankan Yesus seperti itu. Di sana Ia digambarkan sebagai seorang pria yang bertampang rapi, bermata biru jernih, berambut coklat dan berjambang pendek.

Tahun 1964, sutradara dari Italia, Pier Paolo Pasolini memilih aktor Spanyol, Enrique Irazoqui untuk memerankan Yesus di dalam filmnya: The Gospel According to St Matthew (Injil Menurut St Matius). Tidak berbeda dengan film sebelumnya, film yang diproduksi dengan budget sangat terbatas ini, kendatipun menampilkan Yesus dengan wajah yang lebih cocok, seakan-akan Ia benar-benar berasal dari Timur Tengah, gagal untuk meyakinkan atau meninggalkan kesan yang tak terlupakan kepada para penonton.

Sebuah film penuh dengan adegan-adegan yang panjang sekali, tetapi sangat membosankan: The Greatest Story Ever Told, dibuat tahun 1965 dengan aktor Max von Sydow sebagai Tuhan Yesus. Dari banyak film-film lainnya mengenai kehidupan Kristus, mungkin dia adalah salah seorang dari aktor-aktor yang pernah memerankan-Nya, yang sampai sekarang paling tidak dikenal atau dikenang oleh orang-orang.

Memang, baik Jeffrey Hunter di King of Kings, atau Enrique Irazoqui di The Gospel According to St Matthew, maupun Max von Sydow di The Greatest Story Ever Told, Yesus yang mereka representasikan tampak terlampau cliché. Ketiga film itu tidak berhasil memperlihatkan ciri-ciri terpenting dari ketuhanan dan kemanusiaan seorang Juruselamat yang penuh kasih. Ketiga-tiganya selalu tampak serius, jarang sekali tersenyum, … apalagi tertawa!

Pada tahun 1977, Franco Zefferelli membuat miniseries untuk televisi yang berjudul: Jesus of Nazareth. Film tersebut walaupun jalan ceriteranya panjang sekali, cara penuturannya sangat mengesankan. Hampir seluruhnya adalah jalinan petikan-petikan kisah dari keempat Injil yang diselipi oleh beberapa kisah tambahan dengan tujuan untuk memudahkan para pemirsa memahami peristiwa-peristiwa yang harus terjadi sebelum Tuhan Yesus disalibkan di Golgota. Robert Powell yang memerankan Kristus adalah salah seorang aktor yang sampai sekarang paling dikenal dan dikenang sebagai pemeran Yesus, kendatipun ia berambut pirang dan bermata biru. Di dalam film itu Ia ditampilkan secara wajar dan realistis sekali.

Dua tahun kemudian sebuah film berjudul: Jesus, diproduksi murni berdasarkan kisah hidup-Nya yang tercatat di Injil Lukas, dengan Brian Deacon sebagai pemeran utamanya. Menurut data statistik, film yang akhirnya diubah menjadi alat penginjilan yang sangat ampuh ini adalah film yang paling banyak ditonton orang sepanjang masa! Kabarnya 5,6 milyar orang di seluruh dunia sudah melihatnya. Tepat 20 tahun kemudian, pada tahun 1999, sebuah film dengan judul yang sama: Jesus, diproduksi lagi untuk kaum muda, dengan Jeremy Sisto sebagai pemeran Kristus. Entah mengapa, wajah kedua aktor inipun gagal meninggalkan kesan yang tak terlupakan bagi para penontonnya!

Di bulan Desember 2002 sebuah badan ilmiah di Inggris mengumumkan, bahwa mereka berhasil melukiskan kembali wajah Kristus yang ‘sebenarnya’, menggunakan forensic anthropology, yang biasanya hanya dipakai untuk mempelajari dan membongkar perkara-perkara kriminil yang rumit saja. Bekerja sama dengan seorang ahli ilmu purbakala dari Israel, tanpa mampu melakukan penelitian DNA pada tubuh Kristus, mereka merekonstruksi paras-Nya. Menurut hasil penemuan mereka, wajah dan tubuh Yesus justru bertentangan sekali dengan yang biasanya dikenal dan dibayangkan oleh masyarakat kristiani di seluruh dunia. Selain Yesus berparas tidak tampan, Ia bertubuh pendek dan agak gemuk. Mereka juga berani menyatakan, bahwa hasil penemuan mereka itu adalah ‘yang paling akurat’! Sungguh luar biasa!

The Gospel of John (Injil Yohanes) yang menampilkan Henry Ian Cusick sebagai Yesus beredar di dunia DVD awal tahun 2003. Jalan ceriteranya disajikan murni berdasarkan ayat-ayat Injil tersebut. Seperti Robert Powell di Jesus of Nazareth, Henry Ian Cusick juga memerankan Yesus secara wajar dan realistis sekali. Banyak orang yang menyukainya, karena seperti rekannya itu, ia juga berwajah biasa-biasa saja, tetapi bisa mewakili dunia barat dan timur. Sebagai seorang peranakan Scottland dan Peru, ia memberi keseimbangan kepada tokoh yang diperankan olehnya! Bukan 100% paras seorang Anglo-Saxon, tetapi juga bukan 100% paras seorang yang berasal dari Timur Tengah.

Dr James Dobson pernah berkata sebelum Mel Gibson membuat film The Passion of the Christ, bahwa di dalam hal menyimpulkan paras Tuhan Yesus secara pribadi, Henry Ian Cusick, yang bermata coklat dan berambut hitam, adalah favoritnya, melebihi aktor-aktor lain yang pernah memainkan kehidupan Kristus di layar putih. Menurut pendapatnya, paras Henry Ian Cusick tepat mewakili paras Tuhan Yesus sesuai yang selalu dibayangkan olehnya.

Terus terang saja, tidak pernah ada film mengenai Kristus yang lebih kontroversiil dari pada Mel Gibson’s The Passion of the Christ (2004). Film dengan anggaran belanja yang sangat terbatas, yang hanya membahas hari-hari terakhir kehidupan Yesus sebelum disalibkan dan juga saat kebangkitan-Nya, telah menggoncangkan atmosfir setiap bioskop di seluruh dunia oleh karena kekerasan dan kekejaman yang diperlihatkan di sana.

Di luar dugaan penonton, penderitaan dan pengorbanan Kristus di kayu salib disajikan secara blak-blakan dan realistis sekali, sesuai dengan keadaan zaman, kekejian dan kebiadaban hukum pada waktu itu. Biasanya film-film mengenai penyaliban Yesus, kendatipun menunjukkan penderitaan-Nya yang luar biasa, selalu disajikan sedemikian rupa, sehingga masih bisa ditoleransi oleh emosi-emosi manusia. Tetapi film karya Mel Gibson ini … berbeda sekali! Kalau wajah Yesus di film-film tersebut hampir tidak berubah kala Ia disalibkan, di film The Passion of the Christ, wajah-Nya sangat mengerikan, … tidak bisa dikenali lagi!

demikianlah ia akan membuat tercengang banyak bangsa, raja-raja akan mengatupkan mulutnya melihat dia; sebab apa yang tidak diceritakan kepada mereka akan mereka lihat, dan apa yang tidak mereka dengar akan mereka pahami.” (Yesaya 52:15)

(Bersambung)

PARAS TUHAN YESUS (2)

JAMES CAVIEZEL

Friday, August 14, 2009

Hillsong Brisbane


Oleh: John Adisubrata

Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada.” (Efesus 1:22)

Tak pernah terduga, gereja kami: Garden City Christian Church, di kota Brisbane, Australia, yang sudah berdiri lebih dari 50 tahun lamanya, dan saat itu melayani kurang lebih 6000 anggota jemaat, bisa menjadi ‘cabang’ sebuah gereja termasyhur: Hillsong Church.

Kenyataannya, pada tanggal 24 Mei 2009, sesudah melalui berbagai prosedur resmi berbulan-bulan lamanya, baik secara hukum maupun penentuan bersama para penatua dan seluruh anggota jemaat resmi yang terdaftar di sana, gereja kami dinyatakan sebagai Gereja Hillsong yang keempat di Australia, Kampus Brisbane. Sampai saat ini Hillsong Church juga mempunyai cabang-cabang gereja di London, England; di Kiev, Ukraine; di Cape Town, South Africa; demikian juga di Stockholm, Sweden; di Paris, France; di kota Berlin, Germany dan di Moscow, Russia.

Kurang-lebih enam bulan sebelumnya, ketika diumumkan bahwa Gembala Sidang kami akan mengundurkan diri dari kedudukannya karena masalah kesehatan, seluruh jemaat yang masih belum mengerti apa-apa, menjadi terpana. Sejauh pengetahuan kami, banyak sekali orang-orang yang mengasihinya, yang berharap agar dia tetap menggembalakan gereja kami. Tentu saja bagi mereka yang tidak terlibat sebagai pengurus, … seperti kami, yang kurang tertarik dengan urusan politik gereja, tidak tahu keadaan yang sebenarnya, apa yang sedang bergejolak di ‘dalam’.

Memang gereja kami mengalami berturut-turut beberapa goncangan di tahun-tahun sebelumnya, di mana hal-hal yang kurang menyenangkan terjadi. Semua itu diawali dengan kepergian seorang Pendeta Muda, yang dipercayai oleh Gembala Sidang kami untuk menggembalakan kaum remaja. Tidak lama sesudah ia diteguhkan, mendadak ia berhasrat untuk keluar dan ‘berdikari’. Tentu saja itu bukan suatu hal yang aneh di mana seorang hamba Tuhan ingin merintis sebuah gereja baru sesuai panggilannya. Tetapi jika hampir seluruh jemaat kaum muda gereja kami ikut dibawa pergi olehnya, motifnya tersebut patut dipertanyakan.

Semenjak saat itu pertumbuhan gereja kami menjadi seolah-olah terhenti, terutama pertumbuhan jemaat generasi mudanya! Entah disebabkan oleh karena pemimpin-pemimpin baru yang menggantikannya, atau … oleh karena ketidak-stabilan politik gereja, gara-gara peristiwa tersebut. Yang pasti, jumlah jemaat yang beribadah di sana setiap Minggu semakin lama semakin menipis. Apakah itu salah satu penyebab kepergian Gembala Sidang gereja kami? Kami tidak tahu!

Seperti umumnya terjadi di mana-mana, perubahan adalah suatu hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan tanpa melalui tentangan-tentangan serta kritik-kritik yang pedas. Segera setelah diumumkan, bahwa kemungkinan besar Hillsong Church akan menjadi gereja ‘induk’ kami, reaksi-reaksi yang terjadi di antara para jemaat sangat menakjubkan. Padahal pengurus-pengurus gereja sudah menjamin, bahwa Pemilihan Umum akan dilakukan bersama terlebih dahulu untuk memastikan keterlibatan seluruh anggota jemaat di dalam menentukannya!

Karena memang berbulan-bulan sebelumnya gereja kami sudah berusaha untuk menemukan seorang Gembala Sidang pengganti yang baru. Tetapi di antara beratus-ratus peminat yang mengajukan diri dari seluruh Australia, ternyata tidak ada seorang kandidat pun yang memenuhi syarat. Akhirnya diumumkan pada suatu hari Minggu di awal tahun 2009, bahwa Ps Brian Houston dari Gereja Hillsong di Sydney, Australia, telah dihubungi oleh para pengurus gereja dengan proposal untuk bergabung dan bernaung di bawah panji gerejanya.

Seketika itu juga jemaat gereja kami memberikan tiga reaksi!

1. Langsung Setuju, karena terpukau oleh nama Hillsong yang termasyhur, nama sebuah gereja yang sudah berhasil mempengaruhi perkembangan musik Praise and Worship di Australia, bahkan di seluruh dunia! Bagi mereka, diasosiasikan dengan nama gereja besar yang amat sukses itu, adalah suatu langkah positif yang pasti akan menguntungkan masa depan gereja kami. Memang di antara kedua gereja ini ada suatu ikatan ‘batin’ yang kuat. Ps Darlene Zschech, salah seorang tokoh terpenting di dunia musik rohani internasional yang kira-kira 20 tahun yang lalu ikut andil di dalam merintis Hillsong Church, pernah melewati masa remajanya di gereja kami, bahkan lahir baru di sana. (Baca: Darlin’ Darlene) Lagi pula setiap minggu gereja kami selalu menggunakan paling sedikit 75% lagu-lagu puji dan sembah karya mereka.

2. Langsung Menolak, karena merasa tidak senang dijadikan seolah-olah ‘francise’ Gereja Hillsong di kota Brisbane. Mereka takut kehilangan identitas yang semula, takut tidak bisa berkembang secara lokal dengan bebas, takut dikontrol oleh pusat, bahkan takut kehilangan kedudukan pelayanan mereka di sana! Ada juga yang langsung menolak karena merasa antipati sekali dengan gereja besar itu, terutama pribadi-pribadi para pemimpinnya! Gosip mulai beredar, baik secara halus, maupun terang-terangan. Bahkan ada yang memulai blog-blog pribadi hanya untuk menyerang Gereja Hillsong dan visi rencana pergabungan tersebut!

3. Langsung Berserah, karena tidak ingin memihak kepada siapa pun juga, selain kepada Tuhan! Hillsong atau bukan, tidak menjadi masalah. Karena mereka merasa yakin, bahwa mereka sudah ditempatkan oleh-Nya di sana. Gereja apa pun adalah Gereja Tuhan, milik-Nya, bukan milik perseorangan atau kelompok-kelompok tertentu saja. Kendatipun harus melalui berbagai tantangan, di setiap masa gereja-Nya akan selalu ada sampai saat kedatangan-Nya kembali. Mereka menyadari, bahwa memang tidak ada gereja di dunia yang sempurna! Sekalipun secara keseluruhan mereka adalah Tubuh Kristus, suatu saat setiap gereja, para pemimpinnya, dan juga jemaat-jemaatnya, pasti harus mempertanggung-jawabkan motif-motif dan tindak-tanduk mereka di hadapan-Nya. Firman Tuhan jelas memperingatkan hal itu! (Wahyu 2-3)

Louie Giglio, salah seorang dari penginjil-penginjil yang paling efektif di dunia masakini, hadir di Hillsong Conference yang diadakan di kota Sydney awal bulan Juli 2009 yang baru lalu. Tema khotbahnya yang berkisar pada ungkapan terkenal: Jesus Loves Us, membahas sedikit tentang masalah itu dengan jitu sekali. Sebagai penutup firman, tanpa menunjukkan rasa kurang hormat kepada Ps Brian Houston, yang adalah tuan rumah konferensi tersebut, Louie Giglio berkata, bahwa tidak ada seorangpun yang bisa mengatakan, bahwa merekalah yang ‘membangun’ atau ‘memulai’ sebuah gereja. Karena Tuhan sudah memulainya 2000 tahun yang lalu. Ia-lah Kepala Gereja (Tubuh Kristus), … bukan para perintis gereja-gereja lokal. Tuhan-lah pemiliknya, termasyhur atau tidak, besar atau kecil. Kita semua, siapapun juga, hanya menjadi bagian dari tubuh-Nya saja, bukan kepala-kepala yang harus dikagumi dan dielu-elukan.

Karena di dalam gereja-Nya hanya ada satu Kepala saja, yaitu Tuhan Yesus Kristus! Kita harus bersyukur sudah menerima kesempatan untuk menjadi bagian dari tubuh, yang kendatipun tidak sempurna, mempunyai Kepala Yang Tak Tergoyahkan! Rasul Paulus menulis di dalam suratnya kepada jemaat di Kolose: Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu.” (Kolose 1:18)

Memang harus diakui, semenjak ‘nama’ gereja kami, Garden City Christian Church, diubah menjadi: Hillsong Church, Brisbane Campus, jemaat baru datang mengalir dari mana-mana. Seketika itu juga jumlah generasi muda gereja kami menjadi naik dengan pesat sekali, meningkat berlipat-lipat ganda. Kendatipun banyak anggota jemaat lama yang ‘mengundurkan diri’, pergi semenjak peralihan ‘kuasa’ tersebut, setiap kebaktian gereja kami malah menjadi penuh sesak sekali. Terutama ibadah di hari Jumat malam yang mengawali perubahan itu selama enam minggu pertama! Bahkan mencari parkir pun sekarang susah! Siapakah yang tidak mau hadir, jika para penginjil dan pemimpin-pemimpin pujian yang terkenal dari Hillsong Church khusus didatangkan dari pusat untuk melengkapi acara ibadah gereja kami secara bergantian?

Sungguh menakjubkan, bagaimana ‘prestasi’ sebuah nama bisa mengubah jumlah jemaat sebuah gereja dalam waktu yang begitu singkat!

Ibadah perdana yang diadakan pada hari Minggu tanggal 24 Mei 2009 jam 8:30 pagi, sangat meriah, penuh sesak seperti suasana pesta. Dimulai dengan puji dan sembah yang dipimpin oleh Ps Reuben Morgan, Worship Pastor Hillsong Church, didukung oleh para pemusiknya yang termahir. Dan diakhiri dengan firman yang dibawakan oleh Ps Brian Houston. Semenjak saat itu setiap minggu secara bergantian Darlene Zschech, Joel Houston, Jad Gillies, Jonathon Douglas, dan lain-lainnya, bahkan gitaris Nigel Hendroff didatangkan dari kota Sydney untuk memeriahkan ibadah gereja kami.

Saya tahu, jumlah jemaat yang besar sebuah gereja, di mana pun saja, bukan menjadi jaminan, bahwa mereka pasti sudah berkenan di hati Tuhan! Oleh karena itu saya berdoa, agar bukan nama Hillsong Church yang menjadi besi sembrani penyebab kehadiran banyak jemaat yang baru di gereja kami, tetapi Nama di atas segala nama, Nama Tuhan Yesus Kristus-lah yang menjadi penyebabnya! Sebab Tuhan melihat sikap hidup umat-Nya terlebih dahulu. Ia menuntut kemurnian hati dan ketaatan jemaat, yang dari awalnya datang ke rumah-Nya hanya untuk bersekutu dengan Dia saja, dan bukan oleh karena ingin menyaksikan hamba-hamba-Nya yang termasyhur di dunia memimpin ibadah di sana!

Semoga kami semua mempunyai kerendahan hati untuk selalu memeriksa motif masing-masing. Haleluya!

John Adisubrata
Agustus 2009