Saturday, January 31, 2009

Sekilas dari Keabadian (22)


Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata

PUSAT SEGENAP ALAM SEMESTA

“TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. Demikianlah harus mereka meletakkan nama-Ku atas orang Israel, maka Aku akan memberkati mereka.” (Bilangan 6:24-26)

Sambil terus melayang mendekati sumber cahaya tersebut, saya berpikir: “Tadi di dalam kegelapan aku tidak bisa melihat bentuk tanganku sendiri, apalagi menjamahnya. Apakah mungkin aku melihatnya sekarang?”

Saya mengangkat tangan kanan saya. Penuh ketakjuban saya mengamat-amati tangan jasmani saya yang sekarang sudah berubah menjadi sebuah tangan yang transparan. Demikian juga lengan, badan, kedua paha dan kaki-kaki saya, ... semuanya berubah menjadi anggota-anggota tubuh manusia yang tembus pandang!

Yang paling menakjubkan, … seluruh ‘tubuh’ saya juga memancarkan cahaya-cahaya gemerlapan, mirip sekali dengan berkas-berkas sinar dahsyat yang dipancarkan oleh sumber cahaya yang ‘berdiri’ tidak jauh lagi di depan saya.

Seketika itu juga saya menjadi sadar, bahwa berkas-berkas sinar kehidupan yang sudah menjamah diri saya itulah yang menyebabkan ‘tubuh’ saya menjadi berkilau-kilauan indah dan bersinar terang seperti Dia

“Oh, … sungguh luar biasa! Aku tidak mau berhenti di sini saja! Aku mau maju terus untuk menghampirinya. Aku ingin tahu, … siapakah ‘Dia’ yang berada di balik berkas-berkas cahaya yang sedahsyat ini?”

Sekali lagi saya menyaksikan gumpalan-gumpalan gelombang yang baru dalam bentuk berkas-berkas sinar yang tebal dan padat, terpancar keluar dari dalam sumber cahaya itu melayang bergulung-gulung datang menghampiri diri saya.

Keindahan sentuhan cairan lembut yang sukar sekali untuk dijelaskan dengan kata-kata, kembali melumuri seluruh ‘tubuh’ saya. Kali ini rasa hangat yang saya alami menimbulkan sukacita di dalam hati yang amat mengherankan, … yang tidak pernah terjadi pada diri saya sebelumnya!

Akhirnya ketika saya tiba di ujung terowongan, dan berhenti melayang tepat di depan sumber cahaya yang sedang berdiri di sebelah luarnya, saya melangkah mendekatinya tanpa rasa gentar sedikitpun juga.

Laksana sebuah bola sinar raksasa yang berkilau-kilauan memancarkan keagungan yang amat menakjubkan, sumber cahaya itu berdiri tepat di depan saya. Berkas-berkas sinar yang dipancarkan olehnya tampak begitu luas, seluas kemampuan mata saya untuk menelaah kebesarannya. Ke manapun saya mengarahkan pandangan, sinar-sinar dahsyat itu selalu mengikuti dan memenuhinya!

Terpukau menatapnya saya merasa yakin sekali, bahwa sumber cahaya di hadapan saya ini adalah PUSAT SEGENAP ALAM SEMESTA

Berkas-berkas sinar murni yang dipancarkan olehnya membuat keindahan cahaya-cahaya pantulan pelbagai-macam batu-batu permata yang pernah saya lihat di dunia kelihatan pudar sekali, ketajaman sinar laser tampak menjadi tumpul, sedangkan kedahsyatan terik sinar matahari kelihatan seolah-olah bersemu kekuning-kuningan!

Tetapi berbeda dengan ketajaman sinar-sinar mereka, sumber cahaya dahsyat di hadapan saya ini tidak menyebabkan kedua mata saya menjadi silau atau terasa sakit, kendatipun saya menatapnya secara intensif sekali.

Sambil memandangnya penuh kekaguman saya berpikir: “Aku yakin, semua sinar kosmik yang terlihat memenuhi segenap alam semesta pasti bermuara dari dalam sumber cahaya ini! Tentu mereka semua menerima ‘energy’ yang berasal dari ‘Dia’.”

Saya terus mereka-reka: “Apakah ini yang disebut ‘good force’, ... suatu kuasa baik yang dipancarkan untuk melengkapi kesempurnaan alam semesta? Aku ingin mengetahui, apakah ada SESEORANG yang berdiri di dalamnya?” 

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini

SEKILAS DARI KEABADIAN (23)
Kesaksian Ian McCormack 

PULANG KE MANA?

Friday, January 30, 2009

Sekilas dari Keabadian (21)


Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata

SINAR PENGANGKATAN

Sekalipun mereka menembus sampai ke dunia orang mati, tangan-Ku akan mengambil mereka dari sana; sekalipun mereka naik ke langit, Aku akan menurunkan mereka dari sana.” (Amos 9:2)

Baru saja saya berhenti mengutarakan kehancuran isi hati saya kepada-Nya, tiba-tiba di tengah-tengah kekelaman yang menguasai tempat amat gelap itu, tampillah dari jauh sekali di atasnya setitik sinar putih yang amat murni. Sinar tajam terang-benderang itu meluncur turun menembusi kegelapan tersebut dengan amat pesat, datang menuju ke daerah di mana saya berada. 

Kemurnian sorotannya mirip sekali dengan ketajaman sebuah sinar laser putih, hanya jauh lebih dahsyat lagi. Tidak pernah sebelumnya saya menyaksikan sinar yang setajam itu.

Bermuara entah dari mana, sinar luar biasa tersebut meluncur turun menghampiri diri saya. Semakin mendekat sorotannya tampak menjadi semakin mengembang, … membentuk sebuah lingkaran bundar yang menaungi, mengelilingi dan membungkus seluruh ‘tubuh’ saya.

Akhirnya sinar tersebut memisahkan diri saya secara total dari kekelaman kekal menakutkan yang menguasai tempat itu!

Ketika wajah saya tersentuh olehnya, saya merasakan suatu kuasa yang amat menakjubkan mengalir dan menyelubungi roh saya. Kuasa ajaib itu mengangkat diri saya laksana sebutir debu yang sudah kehilangan daya tarik bumi. Saya melayang ke atas dengan pesat, tetap di dalam perlindungan lingkaran sinar yang amat terang tersebut. 

Sambil terus menatap ke atas saya berusaha untuk mempelajari sumbernya. Dengan jarak yang tampak masih jauh sekali, di antara berkas-berkas cahaya yang terpancar berkilau-kilauan, saya menyadari adanya sebuah terowongan sinar bundar yang amat panjang.

Bagaikan seekor ngengat yang terpesona oleh sinar terang sebuah bola lampu, sehingga tanpa merasa takut akan akibatnya terbang mendekatinya, saya juga merasakan suatu sedotan ajaib yang terus-menerus menarik diri saya untuk melayang datang menghampiri ‘mulut’ lorong yang berkilau-kilauan terang menakjubkan tersebut.

“Apakah ini sungguh terjadi?” Terheran-heran saya berusaha untuk memahaminya.

Keinginan untuk memastikan, bahwa saya tidak hanya bermimpi saja, melainkan benar-benar sudah diangkat olehnya keluar dari tempat gelap itu, menyebabkan saya memberanikan diri untuk menoleh ke belakang.

Jauh di bawah saya melihat kekelaman tempat yang nyata sekali sedang saya tinggalkan. Saya menyadari, bahwa‘tubuh’ saya, yang seolah-olah terbungkus rapat oleh cahaya murni tersebut, sedang melayang menjauhinya dengan kecepatan yang amat pesat.

Oleh karena merasa kuatir, bahwa saya akan ‘jatuh’ kembali ke tempat itu, saya segera memalingkan muka ke atas lagi. Bebas dari hukum gravitasi dunia, saya merasa diri saya terus disedot ke atas oleh suatu tenaga penuh kuasa yang bermuara dari dalam pusar sebuah cahaya terang berkilau-kilauan yang masih berjarak jauh sekali di depan saya.

Setelah melayang beberapa saat lamanya, saya menyadari, bahwa saya sudah mulai memasuki mulut sebuah terowongan bundar yang terbuka dengan lebar. Jauh sekali di ujung sebelah luar lorong terbuka yang bersinar terang-benderang itu, saya melihat sebuah sumber cahaya dahsyat yang berkilau-kilauan indah tak terlukiskan.

Dari dalamnya saya menyaksikan berkas-berkas sinar terang yang tebal dan padat tersembur keluar melayang-layang menyongsong diri saya bagaikan gelombang-gelombang air laut yang sedang bergulung-gulung datang menghampiri batu-batu karang terjal yang ada di tepi pantai untuk membasahi permukaannya.

Ketika disentuh oleh berkas-berkas cahaya tersebut, saya merasa seolah-olah ada suatu cairan lembut yang melumuri seluruh ‘tubuh’ saya dari ujung rambut di kepala sampai ke telapak-telapak kaki saya, suatu perasaan yang sukar sekali untuk dilukiskan dengan kata-kata. Cairan itu men-‘transfer’-kan ke dalam diri saya suatu rasa hangat yang amat menyejukkan!

Hati saya merasa tenteram sekali! Seakan-akan sumber cahaya tersebut ingin menyatakan secara pribadi kepada saya, bahwa Ia menyambut kehadiran saya di sana dengan hangat, di mana Ia memeluk diri saya erat-erat. Rasa curiga akan fenomena yang sedang saya alami itu mulai menghilang!

“Berkas-berkas cahaya ini amat terang, … jauh lebih tajam dari pada sinar-sinar laser. Tampak nyata, tebal dan dahsyat sekali! Sinar ini bukan hanya terlihat secara kasat-mata saja, tetapi juga mengandung suatu ‘emosi’ yang amat mengherankan, … yang bisa kurasakan. Apakah berkas-berkas sinar inilah yang dimaksud dengan sinar kehidupan?” Saya bertanya-tanya sendiri.

Untuk kedua kalinya, penuh keheranan saya menyaksikan gumpalan-gumpalan gelombang berkas-berkas cahaya terang-benderang yang sama, terpancar keluar dari dalam sumber cahaya tersebut melayang bergulung-gulung datang menghampiri diri saya.

Sekali lagi saya merasakan suatu cairan lembut yang serupa melumuri seluruh ‘tubuh’ saya dengan ajaib sekali, mengendapkan rasa hangat yang seketika itu juga membuat hati saya dipenuhi oleh kedamaian yang amat menakjubkan! 

“Oh …,” saya mengeluh penuh perasaan tidak layak: “Sepanjang hidupku aku berusaha menemukannya di dunia, tetapi yang kudapatkan hanya kedamaian semu belaka, yang tidak bisa menjamin kesejahteraan hidupku! Tetapi … perasaan yang kualami saat ini sungguh berbeda. Siapakah ‘Dia’, … yang sudah mampu memberikan kepadaku kedamaian yang sejati seperti ini?”

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini

SEKILAS DARI KEABADIAN (22)
Kesaksian Ian McCormack 

PUSAT SEGENAP ALAM SEMESTA

Wednesday, January 28, 2009

Sekilas dari Keabadian (20)


Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata

DUNIA ORANG MATI

tali-tali dunia orang mati telah membelit aku, perangkap-perangkap maut terpasang di depanku.” (2 Samuel 22:6)

“Jadi … aku sekarang berada di mana?” Termangu-mangu saya mengawasi kekelaman di sekeliling saya: “Tempat gelap ini tidak tertembus oleh sinar apapun juga. Tempat apakah ini?”

Tiba-tiba, … entah berasal dari mana, suatu ‘atmosfir’ dingin yang amat menakutkan melanda daerah itu. Kendatipun gelap gulita, yang menyebabkan saya tidak mampu melihat apa-apa, naruli saya bisa ‘meraba’ kehadiran roh-roh lain yang datang dari berbagai jurusan. Kehadiran mereka di sekeliling saya menimbulkan rasa takut di dalam hati yang sukar sekali untuk diuraikan dengan kata-kata.

Tentu roh-roh tersebut baru menyadari kehadiran saya sebagai seorang pendatang yang belum lama ‘mendarat’ di tempat itu. Saya tahu, saya sedang menjadi pusat perhatian mata-mata limunan mereka yang mengawasi saya dari pelbagai arah!

Kesunyian di situ tiba-tiba dipecahkan oleh suara nyaring bentakan seorang laki-laki yang terdengar sedang berdiri di sebelah kanan saya: “Tutup mulutmu! Engkau sudah mengganggu ketenangan kami!”

“Tutup mulut?! Sedari tadi aku tidak mengatakan sesuatu apapun!” Saya menjawab untuk membela diri.

Ketika itu saya belum menyadari, bahwa segala sesuatu yang ada di dalam pikiran saya merupakan pernyataan-pernyataan yang bisa didengar dengan jelas oleh ‘telinga-telinga’ mereka. Setiap pertanyaan yang sedari tadi berkecamuk di dalam benak pikiran saya sudah mengganggu keheningan yang biasanya menguasai tempat itu!

Menanggapi jawaban saya, dengan suara lantang yang amat menakutkan, seorang lain yang terdengar berdiri di sebelah kiri saya berteriak: “Engkau layak sekali berdiam di tempat ini!”

Terkejut mendengar bentakannya, saya menjawab: “Aku layak tinggal di tempat ini?! Di manakah sebenarnya aku berada sekarang?”

Tepat di hadapan saya seorang laki-laki yang lain lagi menyeringai dengan suara yang menyebabkan bulu-bulu roma di tengkuk leher saya berdiri tegak semua: “Engkau berada di NERAKA!”

“Neraka? Apakah mungkin tempat ini yang dinamakan neraka?” Termangu-mangu saya berpikir sambil berusaha untuk mencernakan jawabannya.

Tempat gelap gulita yang amat dingin tersebut benar-benar menggambarkan dengan jitu sekali tempat pengasingan bagi roh-roh jahat seperti mereka, yang terdengar kasar, keji dan penuh kekerasan.

Bukankah neraka merupakan tempat penghukuman abadi bagi para pemberontak hukum-hukum Tuhan, orang-orang yang selalu mementingkan diri mereka sendiri, dan yang gemar melakukan tindakan-tindakan yang jahat terhadap sesamanya pada masa-masa hidup mereka?

Karena saya tidak mempercayai keberadaan Tuhan, saya juga tidak pernah mempercayai keberadaan neraka. Pada waktu itu saya merasa yakin sekali, bahwa sebenarnya neraka adalah hasil karya imajinasi daya pikiran manusia belaka, dengan tujuan untuk menakut-nakuti orang-orang lain yang menolak untuk mempercayainya.

Tetapi kenyataan yang sedang saya hadapi ketika itu membuat hati saya semakin bertanya-tanya mengenai kemutlakan pendapat saya yang ekstrim tersebut: “Apakah aku benar-benar berada di neraka? Apakah mungkin tempat ini yang disebut oleh orang-orang percaya sebagai neraka?”

Seperti pandangan umum yang gemar sekali melecehkannya, saya juga mempunyai pendapat yang sangat sarkastik mengenai ‘tempat’ itu! Jika neraka betul-betul ada, maka tempat itu tentu merupakan suatu tempat di mana semua insan secara bebas bisa melakukan ‘segala sesuatu’ yang mereka inginkan. Suatu tempat berpesta-pora, di mana kata ‘larangan’ tidak terdapat di dalam perbendaharaan kata-kata mereka. Di sana setiap orang bisa bersuka-ria untuk selama-lamanya, melampiaskan segala hawa nafsu yang dulu tidak ‘sempat’ mereka kerjakan di dunia!

Tetapi kenyataan yang sedang saya alami itu menyadarkan saya: “Benar, … inilah neraka! Tempat ini bukan tempat khayalan manusia belaka, tetapi benar-benar ada! Sekarang aku sudah tidak berbentuk jasmani lagi, sehingga aku tidak terpengaruh oleh rasa lelah, lapar atau haus! Selain itu, tempat ini tidak terikat oleh jarak atau waktu. Aku bisa berada di sini selama lima menit atau 5000 tahun tanpa pernah menyadarinya. Tempat sangat gelap ini tidak mengenal batas-batas untuk mengukur jarak, dan sinar matahari untuk mengukur waktu. Tentu inilah yang dimaksud oleh orang-orang percaya sebagai neraka!”

Hati saya menjadi gundah sekali. Penuh penyesalan saya mengeluh: “Oh, … semuanya sudah terlambat, … sekarang aku harus menanggung hukuman ini! Dulu … setiap kesempatan untuk menerima kebenaran firman Tuhan selalu kutolak, baik yang diberitakan oleh orang-orang percaya, maupun yang ditawarkan oleh ibuku sendiri.” 

Teringatlah saya akan doa Bapa Kami yang saya panjatkan di dalam ambulans, yang telah menerima bantuan supranatural … dari sorga.

Mengingat hal itu hati saya menjadi semakin sedih. Penuh kekecewaan saya berargumentasi sendiri: “Bukankah tadi aku sudah memanjatkan doa tersebut dari lubuk hatiku yang paling dalam? Dan setelah itu, bukankah aku juga merasa yakin sekali, bahwa Ia sudah mengampuni dosa-dosaku, bahkan mendamaikan diriku dengan diri-Nya.”

“Oh, … Tuhan.” Saya mengeluh dengan hati hancur: “Jika Engkau benar-benar sudah mengampuni diriku, mengapa Engkau membiarkan aku masuk ke tempat yang amat mengerikan seperti ini?” 

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini

SEKILAS DARI KEABADIAN (21)
Kesaksian Ian McCormack 

SINAR PENGANGKATAN

Tuesday, January 27, 2009

Sekilas dari Keabadian (19)


Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata

KEBERADAAN YANG TIDAK ADA

“Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.” (Yohanes 6:63)

Di luar pengetahuan saya, pada saat itu saya telah menghembuskan nafas yang terakhir. Nafas kehidupan sudah meninggalkan jasmani saya! 

Padahal saya mengira, saya hanya tertidur sejenak saja di atas ranjang rumah sakit.

Tetapi yang amat mengherankan, kalau sebelumnya saya terbaring dengan tubuh sakit, lemah dan tidak berdaya, tiba-tiba secara instan saya sudah berdiri tegak dengan tubuh yang sehat. Selain itu saya merasa segar sekali, seolah-olah tubuh saya tidak pernah menderita seperti yang baru saya alami tadi!

Dan yang lebih mengherankan lagi, … kalau sebelumnya saya terbaring di atas tempat tidur dikelilingi oleh banyak orang di dalam sebuah ruang opname yang gaduh dan diterangi oleh sinar-sinar lampu, tiba-tiba saya berdiri di suatu ‘tempat’ yang amat sunyi dan gelap sekali.

Pertanyaan-pertanyaan yang seketika itu juga timbul di dalam benak pikiran saya adalah: “Sudah berapa lamakah aku tertidur di sini? Mengapa seakan-akan terasa hanya sekejab saja? Dan … mengapa mereka memadamkan lampu-lampunya? Apakah yang telah terjadi? Apakah yang membuat mereka lari meninggalkan aku seorang diri di tengah-tengah kegelapan ini?”

Saya mengawasi keadaan di sekeliling saya dengan penuh harapan untuk bisa melihat paling sedikit seberkas cahaya saja. Sebab saya merasa yakin sekali, di dalam ruang segelap apapun juga, tentu masih akan ada sumber-sumber sinar lain yang dapat menembusinya dari luar! Beberapa kali saya berusaha untuk mencarinya, tetapi tidak ada setitik sinar pun yang bisa saya temukan di sana

“Mengapa mereka harus memadamkan semua lampu yang menerangi kompleks rumah sakit ini?” Saya mengeluh sambil menggeser-geserkan kedua kaki untuk memeriksa lantai di bawah saya. Kendatipun gagal untuk bisa menemukan suatu permukaan lantai yang keras, saya merasa diri saya mulai bergerak ke samping kanan.

Lalu saya teringat akan tombol-tombol lampu yang bisa ditemukan pada dinding-dinding setiap ruang pasien di rumah sakit.

“Andaikan saja aku mendapatkannya, tentu aku bisa menyalakan salah satu dari lampu-lampu yang ada di dalam ruang gelap ini.” Gumam saya penuh kepastian.

Tetapi setelah beberapa saat lamanya saya berusaha untuk mencarinya, saya merasa sangat heran, karena tidak ada sebuah dinding pun yang bisa saya temukan di sana!

“Jangan-jangan mereka telah memindahkan aku ke sebuah ruangan yang lain.” Saya mereka-reka sendiri: “Mungkin saat ini aku sedang berada di tengah-tengah sebuah ruangan yang besar, … berdiri di antara deretan ranjang-ranjang rumah sakit!”

Oleh karena itu saya mengambil keputusan untuk kembali saja ke tempat mula-mula, di mana saya tadi ‘terjaga’ dari tidur.

Berhati-hati agar tidak membentur ranjang-ranjang pasien lainnya yang sedang tidur, perlahan-lahan saya berjalan kembali ke sana. Saya yakin sekali, setiap tempat tidur di dalam rumah-rumah sakit akan selalu didampingi oleh meja-meja kecil yang berlaci di samping kiri atau kanannya. Pasti salah satu dari meja-meja tersebut mempunyai sebuah lampu duduk di atasnya.

Ketika saya yakin sudah berada di tempat yang sama di mana saya tadi terjaga dari tidur, saya menjadi semakin bertambah heran, karena ternyata ranjang itu pun tidak bisa saya temukan di sana.

‘Ruang’ tersebut memang tampak gelap sekali, suatu kepekatan atmosfir yang tidak pernah saya saksikan sebelumnya.

Meraba-raba di dalamnya saya berpikir: “Apakah yang telah terjadi di sini? Di manakah tempat tidurku? Apakah yang harus kulakukan sekarang untuk bisa menemukannya kembali?”

Sambil berusaha memandang tangan kiri saya, saya bertanya-tanya penuh keheranan: “Apakah mungkin di dalam kekelaman seperti ini aku juga tidak bisa melihat tanganku sendiri?”

Karena ternyata, meskipun tangan tersebut sudah berada tepat di depan kedua mata saya, saya tetap tidak bisa melihatnya!

“Baiklah aku menyentuh kepalaku saja!” Saya berpikir sambil meraba raut muka saya.

“Lho, … di manakah mukaku? Mengapa kepalaku seolah-olah tidak ada lagi?” Kembali saya tertegun, karena ternyata tangan kiri saya tidak menjamah sesuatu apapun, bahkan ... melewati kepala saya begitu saja!

“Ah, … tidak mungkin kegelapan seperti ini menyebabkan aku tidak bisa menemukan kepalaku sendiri!” Gumam saya penasaran sambil meraihnya menggunakan kedua tangan saya. Kembali saya hanya berhasil menjangkau ‘angin’ saja!

“Lho, kok luput lagi, … kepalaku ada di mana?” Saya mengeluh dengan terkejut.

Lalu saya mencoba untuk bertepuk tangan! Usaha itupun ternyata gagal, karena kedua tangan saya saling menembus, tangan kiri saya tidak bisa menyentuh tangan saya yang sebelah kanan!

Masih tetap tidak mau mempercayai kenyataan itu, saya berusaha untuk memegang dada, perut, paha dan kedua kaki saya. Kembali saya meraba suatu ‘kekosongan’ yang amat mengherankan! Seolah-olah saya ‘tidak ada’, padahal sebenarnya saya bisa merasakan ‘sensasi’ seluruh badan saya sendiri sebagai manusia yang memiliki anggota-anggota tubuh yang lengkap, ... hanya tidak berbentuk raga yang bisa dijamah lagi.

Baru pada saat itu saya menjadi sadar, bahwa ‘sesuatu hal’ yang tak terduga telah terjadi, … dalam bentuk roh saya sudah meninggalkan tubuh saya di rumah sakit Victoria

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini

SEKILAS DARI KEABADIAN (20)
Kesaksian Ian McCormack 

DUNIA ORANG MATI

Sunday, January 25, 2009

Sekilas dari Keabadian (18)


Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata

VONIS YANG TERAKHIR

“Tali-tali maut telah meliliti aku, dan banjir-banjir jahanam telah menimpa aku, tali-tali dunia orang mati telah membelit aku, perangkap-perangkap maut terpasang di depanku.” (Mazmur 18:5-6)

Memandang wajah-wajah mereka yang sedang berjuang untuk menolong saya, dengan jelas sekali saya bisa membaca sinar-sinar kekuatiran yang dipancarkan olehnya. Tentu mereka telah tahu, bahwa segala upaya mereka untuk menyelamatkan diri saya pada saat itu tidak ada gunanya lagi. Karena seluruh tubuh saya sudah tidak mau memberikan reaksi lagi terhadap usaha-usaha pengobatan mereka!

Dokter tua itu menatap mata saya dengan tajam, lalu berkata: “Anak muda, aku kuatir kami hanya bisa membantumu sampai di sini saja. Aku mengerti penderitaanmu, tetapi kami tidak mampu lagi untuk menolongmu. Racun ubur-ubur laut yang mematikan itu telah berhasil merusak organ-organ vital yang ada di dalam tubuhmu.”

Menolak kenyataan yang baru dikatakan olehnya tersebut, saya menjerit dengan hati pilu: “Aku akan terus berusaha untuk mempertahankan, agar kedua mataku tetap terbuka, karena aku tidak boleh terlena tidur. Aku belum mau mati! Aku harus berjuang untuk melawan racun ganas ini sekuat tenagaku!”

Akhirnya karena menyadari bahwa mereka sudah tidak mampu untuk menolong diri saya lagi, mereka memindahkan saya dari dalam kursi roda ke atas tempat tidur yang tersedia di dalam ruang opname tersebut.

Kadar kelembaban tubuh saya yang tadinya amat menurun, tiba-tiba menjadi meningkat lagi oleh karena cairan tetes botol serum yang sudah diinfuskan ke dalam tubuh saya. Butir-butir keringat dingin mulai tampak merembes keluar melalui pori-pori kulit kepala, terutama di kening saya.

Mata saya yang sudah terasa letih sekali terus berusaha mempengaruhi diri saya untuk menyerah, … untuk segera beristirahat. Hanya sekejab saja, katanya! Tetapi dengan tegas saya menolaknya! Saya tetap memaksakan diri untuk membuka kedua mata saya lebar-lebar, menatap para dokter dan perawat-perawat di depan saya, yang juga sedang memandang wajah saya dengan raut-raut muka penuh rasa iba. 

Butir-butir keringat di sekitar kening saya mulai bergabung menjadi satu. Dan oleh karena kepala saya terlena miring ke sebelah kanan, cairan keringat tersebut mengalir turun melewati alis lalu menggenangi rongga mata kanan saya.

Peluh yang mengandung unsur-unsur garam tersebut menimbulkan rasa perih yang menusuk-nusuk bola mata saya. Seketika itu juga pandangan mata kanan saya menjadi kabur sekali!

Dokter tua itu bergerak memalingkan tubuhnya, berhasrat untuk pergi meninggalkan ruangan tersebut. Melihat hal itu saya berusaha untuk berteriak memanggilnya. Tetapi seperti kenyataan yang sudah semenjak tadi terjadi, mulut saya sama sekali tidak berdaya untuk mengeluarkan suara apa-apa!

Saya hanya mampu menjerit pilu di dalam hati: “Pak dokter, … datanglah kembali, jangan tinggalkan aku! Tolong, … basuhlah mata kananku yang perih ini terlebih dahulu, karena aku tidak bisa melihat dengan jelas lagi. Tolonglah aku, Pak! Tolonglah!”

Tetapi ia telah pergi ke luar meninggalkan saya.

Saya ingin sekali membasuh sendiri cairan keringat yang sedang menggenangi dan mengganggu pandangan mata kanan saya. Tetapi kenyataannya, kedua tangan saya sudah lumpuh sama sekali!

Memakai sisa-sisa kekuatan yang masih ada pada otot-otot leher, saya berusaha memalingkan kepala saya lebih ke kanan lagi, dengan tujuan agar genangan keringat di dalam rongga mata kanan saya tersebut bisa dipaksakan mengalir keluar melalui sampingnya.

Tetapi usaha itu pun gagal, karena ternyata leher saya juga sudah tidak berdaya untuk melakukannya!

Saya berpikir untuk memejamkan kedua mata saya sekuat-kuatnya saja, agar cairan keringat tersebut bisa mengalir keluar melalui kerutan-kerutan kulit yang terbentuk di sisi mata kanan saya.

Tetapi pada saat saya melakukannya, suatu rasa nyaman yang tak terlukiskan, … yang amat menggoda, dan … yang tidak bisa saya hindari lagi, tiba-tiba secara ajaib sekali menguasai diri saya! Kali ini saya tidak dapat menahan keinginan hati saya lagi untuk membiarkan kedua mata saya terus terpejam.

Saya menghembuskan nafas yang panjang sambil menggumam sendiri: “Baiklah, … aku akan beristirahat terlebih dahulu! Biarlah kukatupkan kedua mataku, … lima menit saja! Nanti … jika tubuhku sudah terasa lebih segar, aku akan berjuang lagi. Tapi sekarang, ... lebih baik aku beristirahat sejenak, … sejenak saja!”

Luar biasa sekali, ... saya menikmati suatu kelegaan yang sangat sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata, yang seketika itu juga bisa mengatasi segala penderitaan-penderitaan yang baru saja saya lalui sebelumnya.

Segala usaha untuk berjuang mempertahankan hidup saya menjadi terhenti pada saat itu juga. Saya merasa diri saya seolah-olah sudah dibebaskan. Semua penderitaan yang saya alami semenjak tadi ternyata sudah berakhir! Tubuh saya terasa ringan sekali!

“Oh, … aku telah tertidur!” Saya menggumam lagi sambil menarik nafas lega.  

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini

SEKILAS DARI KEABADIAN (19)
Kesaksian Ian McCormack 

KEBERADAAN YANG TIDAK ADA

Saturday, January 24, 2009

Sekilas dari Keabadian (17)


Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata

PERALATAN MEDIS KUNO

Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu.” (Amsal 16:3)

Setelah membuka kedua pintu belakang kendaraannya, pengemudi ambulans tersebut, seorang pria keturunan Perancis, segera menarik keluar stretcher di mana saya terbaring.

Dengan bantuan seorang perawat wanita yang masih muda, ia mengangkat dan memindahkan tubuh saya ke atas sebuah ‘wheel chair’ (kursi-roda). Lalu mereka berdua bergegas mendorongnya berlari-lari melalui lorong-lorong rumah sakit, sebelum membawa saya masuk ke dalam sebuah ruang opname.

Di sana perawat muda itu berusaha mengukur tekanan darah saya. Ia memompa alatnya dengan harapan, agar ia bisa segera membaca hasilnya. Tetapi setelah mencobanya beberapa kali, alat pengukur tekanan darah tersebut tetap tidak mau memberikan tanggapan apa-apa.

Mula-mula ia menyangka, bahwa alat yang dipergunakan olehnya tersebut sudah rusak. Sebab secara jujur saya harus mengakui, ... ruang opname itu dipenuhi oleh peralatan-peralatan kedokteran yang amat ketinggalan zaman. Semuanya tampak seperti alat-alat medis yang berasal dari zaman Perang Dunia Kedua saja!

Selain itu seolah-olah sebagai orang ketiga, saya merasa diri saya sedang melayang-layang di dalam ruang opname tersebut, … memperhatikan semua yang terjadi di sana dari atas. Dari ketinggian langit-langitnya, menatap ke bawah, saya mengawasi perawat wanita yang masih terus berjuang mengukur tekanan darah tubuh saya.

Setelah berusaha menggunakan beberapa alat-alat yang lain, akhirnya ia berhasil mendapatkannya! Secepatnya ia menyalin data tersebut, lalu dengan bantuan pengemudi ambulans yang masih ada di situ, ia berlari-lari mendorong kursi-roda saya pergi memasuki sebuah ruangan yang lain.

Di sana kasus saya diserahkan oleh mereka kepada seorang dokter keturunan India yang masih berusia amat muda. Dokter itu memulai rutinnya dengan menanyakan nama saya, alamat, umur dan lain sebagainya. Tentu saja pada waktu itu saya sudah tidak mampu lagi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya!

“Oh, … tolonglah aku! Jangan bertele-tele seperti ini!” Saya berseru di dalam hati dengan gemas: “Ayo cepat, … aku harus segera kau obati dengan anti-toksin, … sekarang juga!”

Oleh karena pada saat itu saya hanya mampu menggoyang-goyangkan kedua bola mata saya saja, saya melirik ke samping kirinya, di mana seorang dokter lain, juga keturunan bangsa India, yang sudah berusia lanjut dan tampak jauh lebih berpengalaman dari pada dia, sedang asyik menulis di atas meja kerjanya.

Dengan sinar pandangan mata yang memancarkan keputus-asaan serta permohonan minta tolong yang tak terlukiskan lagi, saya menatap wajahnya terus-menerus tanpa berkedip sambil berteriak-teriak memanggil dia di dalam hati: “Oh Pak Dokter, … tolonglah saya! Tolonglah saya!”

Permohonan tak terucapkan itu akhirnya berhasil menggugah hatinya, ketika ia mengangkat kepalanya dan memandang wajah saya. 

Dokter tua itu melompat berdiri dari tempat duduknya, bergegas menghampiri saya sambil berteriak marah kepada rekannya: “Mengapa engkau tidak menolong anak muda ini secepatnya? Ia membutuhkan anti-toksin saat ini juga! Mengapa engkau tidak segera menyuntik dia dengan obat itu? Keadaannya sudah amat kritis! Ayo, … cepat! Cepat!”

Teriakannya cukup berwibawa untuk seketika itu juga mengubah suasana tenang yang sedari tadi menguasai ruang opname tersebut!

Selama mereka berjalan panik kian kemari di sekitar kursi-roda saya, saya bisa mengikuti semua percakapan mereka dengan jelas sekali. Kendatipun kondisi tubuh saya sudah amat memburuk, bahkan saya yakin sekali, … ajal saya sudah hampir tiba, saya tetap sadar akan segala sesuatu yang terjadi di dalam ruangan itu. Seolah-olah dari ‘luar tubuh’, saya tetap bisa memperhatikan dan mengikuti segala perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi pada diri saya di sana.

Dokter tua itu membungkukkan dirinya sambil menatap wajah saya dengan pandangan mata penuh rasa iba, lalu berkata untuk memberi semangat kepada saya: “Anak muda, aku tidak yakin engkau masih bisa mendengar suaraku atau tidak. Jika bisa, perhatikanlah perkataanku ini! Kami akan tetap berusaha menolongmu, asal engkau juga bersedia membantu kami! Janganlah menyerah terlebih dahulu. Mari bersama-sama kita melawan racun yang sudah menjalar di mana-mana di dalam tubuhmu ini. Ayo, … berusahalah terus, … jangan mundur! Kami semua ingin melihat engkau sembuh dan menjadi sehat kembali!”

Penuh kepanikan beberapa perawat ikut membantu dia memberi suntikan-suntikan anti-toksin di berbagai bagian tubuh saya. Mereka juga menggantungkan sebuah tabung tetes serum di samping kursi roda saya yang langsung diinfuskan melalui lengan tangan kiri saya.

Salah seorang perawat wanita yang masih muda berusaha menyuntik tangan kanan saya. Menggunakan sebuah jarum yang amat besar, ia berusaha menemukan urat-urat nadi di antara jari-jari tangan saya. Tetapi oleh karena kulitnya sudah melepuh besar, dan juga peredaran darah tubuh saya sudah tidak keruan dan hancur berantakan, upayanya tersebut tidak berhasil sama sekali.

Kulit tangan saya yang tertusuk jarum itu menggelembung besar, dipenuhi oleh cairan obat yang menolak untuk ikut terjalin di dalam peredaran darah tangan saya. Karena perawat itu gugup sekali, tangannya yang gemetaran mengakibatkan jarum suntik di tangannya menjadi tergoyang kian kemari, sehingga kulit tangan saya menjadi sobek dan terluka.

Selain itu ia juga berusaha mengurut gelembung tersebut menggunakan tangan kirinya, untuk memaksakan cairan obat anti-toksin itu memasuki jaringan peredaran darah tangan kanan saya.

Kendatipun tubuh saya sudah tidak bisa menanggapi rasa sakit lagi, saya memandang wajahnya sambil berteriak di dalam hati: “Hai, tolong … berhati-hatilah! Jangan sampai engkau merusak kulit tanganku!”

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini

SEKILAS DARI KEABADIAN (18)
Kesaksian Ian McCormack 

VONIS YANG TERAKHIR

Thursday, January 22, 2009

Sekilas dari Keabadian (16)


Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata

MENGAMPUNI UNTUK DIAMPUNI

“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.” (Kolose 3:13)

Sikap saya yang masih ingin menuntut balas mengakibatkan pertolongan dari-Nya menjadi terhenti seketika itu juga. Tidak ada kalimat-kalimat lain yang tampil, yang bisa membantu mengingatkan saya akan tema atau kata-kata yang harus saya pergunakan untuk berdoa!

Saya menjadi sadar, bahwa keputusan terakhir untuk mengampuni orang-orang yang sudah menganiaya saya tersebut ada di dalam tangan saya sendiri. Ia tidak akan ikut mencampuri atau mempengaruhi saya. Karena keputusan itu harus keluar dari lubuk hati saya yang paling dalam.

Setelah menyadari kenyataan itu, tanpa membuang-buang waktu lagi saya berseru kepada-Nya: “Oh Tuhan, jika Engkau bersedia mengampuni dosa-dosaku, saat ini juga aku berjanji, aku mau mengampuni tindakan-tindakan mereka yang jahat terhadap diriku! Aku berjanji kepada-Mu, Tuhan, jika aku bisa sembuh kembali, aku tidak akan mencari mereka lagi untuk menuntut balas!” 

Terus terang saja, pikiran saya yang amat terbatas tidak mampu memahami cara-cara-Nya untuk mengampuni dosa-dosa saya, yang saya ketahui, … tidak terhitung lagi jumlahnya.

Tetapi saya percaya, melalui kasih karunia-Nya yang luar biasa, pada malam itu Ia telah mendengar dan menerima pernyataan saya tersebut. Saya merasa yakin bahwa hal itu sudah terjadi, karena tidak lama kemudian, Ia membantu saya lagi dengan menampilkan kembali huruf-huruf abjad yang baru, yang membentuk barisan kata-kata berbunyi: Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.”

“Kehendak-Mu? Kehendak Tuhan?” Selama hidup saya hanya melakukan kehendak saya sendiri! Hidup berkecukupan, bebas tanpa ikatan, tidak pernah membutuhkan pertolongan siapapun juga! Saya merasa puas dengan diri saya, bahkan bangga sekali akan status kehidupan saya.

Selama ini saya selalu hidup sesuai dengan keinginan saya sendiri! Jangankan Tuhan, … kedua orang tua saya pun tidak pernah saya ijinkan untuk mencampuri urusan-urusan saya, apalagi … kehendak-kehendak saya!

Menyadari sikap hidup saya selama ini, tanpa merasa ragu-ragu lagi saya berkata: “Tuhan, aku masih belum bisa memahami kehendak-Mu di dalam hidupku. Tetapi, jika aku berhasil melewati peristiwa ini, dan kesehatanku Engkau pulihkan lagi, aku berjanji, aku akan bersungguh-sungguh menelusurinya. Aku akan mencari tahu dan mempelajari apa yang menjadi kehendak-Mu itu! Aku berjanji untuk selalu mengikuti langkah-langkah-Mu sampai akhir hidupku!” 

Tidak lama sesudah saya mengucapkan nazar itu, seluruh bagian dari doa Bapa Kami tampil di depan mata saya, berurutan secara lengkap seperti yang pernah saya pelajari ketika saya masih kanak-kanak. 

Setelah selesai memanjatkan doa tersebut, saya tahu, … hati saya sudah dipenuhi oleh damai sejahtera sorgawi yang amat menakjubkan.   

Peristiwa ajaib yang saya alami tersebut terjadi dalam waktu yang amat singkat, hanya pada saat ambulans kami sedang ‘terengah-engah’ mendaki jalan yang menukik tinggi memasuki pekarangan Victoria Hospital.

Tetapi yang amat mengherankan, waktu sekejab itu terasa lama sekali di dalam penglihatan saya, seperti tidak pernah ada akhirnya. Seolah-olah saya mengalaminya di dalam suatu alam yang berbeda, alam yang tidak terikat lagi dengan jangka-jangka waktu yang berlaku di dunia!

Ketika akhirnya ambulans tersebut berhenti tepat di depan pintu masuk rumah sakit Victoria, saya bisa merasakan perubahan instan yang sudah terjadi pada diri saya.

Di luar pengetahuan saya, pada saat itu juga jiwa saya sudah diyakinkan, karena pengampunan Tuhan sudah dikaruniakan kepada saya melalui doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus kepada para pengikut-Nya 2000 tahun yang lalu. Saya sudah didamaikan kembali dengan Allah Bapa, Pencipta saya. (1) 

(1) Catatan Kaki:

Sering kali tanpa sadar kita ‘menghakimi’ orang-orang lain sesudah kematian mereka, menyangka bahwa mereka pasti masuk neraka mengingat riwayat hidup dan tingkah laku mereka semasa hidupnya. Tetapi kesaksian ajaib ini membuktikan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa terjadi di luar dugaan kita. Pada menit-menit terakhir kehidupan seseorang, kasih karunia Tuhan yang luar biasa, yang terlampau ‘dahsyat’ untuk bisa dipahami oleh daya pikiran kita yang amat terbatas, … bisa dicurahkan oleh-Nya kepada orang itu! Karena Ia adalah Hakim Agung yang maha adil, yang mempunyai hak mutlak untuk mengaruniakan kasih-Nya kepada siapapun yang dikehendaki oleh-Nya, …  sesuai dengan rencana-Nya! Kita tidak mempunyai hak untuk mencampuri ‘urusan’ Tuhan. (Ian McCormack) 

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini

SEKILAS DARI KEABADIAN (17)
Kesaksian Ian McCormack 

PERALATAN MEDIS KUNO