Thursday, March 26, 2009

Something Beautiful (3)


Oleh: John Adisubrata

NOL-NOL YANG KOSONG

‘Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1Samuel 16:7)

Ev Reinhard Bonnke, seorang penginjil kenamaan berasal dari Jerman, pernah membahas dengan jelas sekali fenomena mengenai cara-cara Tuhan memanggil dan memilih para pengikut-Nya. Sampai sekarang cara-cara-Nya masih tetap menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di antara orang-orang percaya, yang juga menyadari panggilan-panggilan yang serupa.

Ia mengisahkan pengalamannya ketika ia berdoa pada suatu malam untuk memohon pengertian mengenai proses pemilihan para rasul yang dilukiskan di dalam Injil Lukas 5:1-11. Di tengah-tengah persekutuannya dengan Tuhan, tiba-tiba ia menerima sebuah penglihatan, di mana Roh Kudus seolah-olah membawanya pergi ke atas bukit di mana Yesus sedang berdoa untuk menentukan pengikut-pengikut yang akan dijadikan rasul-rasul-Nya.

Ia mendengar Yesus berkata: “Bapa, sebentar lagi Aku akan memilih ke-12 rasul-Ku. Janganlah membiarkan Aku memilih mereka seperti dunia ini menentukan orang-orang yang akan mereka pilih. Janganlah membiarkan Aku merencanakan keberhasilan tugas yang sudah Kauberikan kepada-Ku seperti raja-raja dunia ini merancangkan kesuksesan-kesuksesan mereka. Janganlah kehendak-Ku Bapa, tetapi … biarlah kehendak-Mu saja yang terjadi.”

Itulah kalimat-kalimat yang mengawali doa Tuhan Yesus yang berlangsung selama 12 jam di atas bukit tersebut, sebelum Ia turun kembali keesokan harinya untuk menghampiri para pengikut-Nya, lalu memilih secara random 12 orang biasa dari tengah-tengah mereka.

Melalui peristiwa itu, Ia ingin memberi contoh kepada kita, bahwa dari dahulu sampai sekarang bukan orang-orang yang merasa diri mereka pintar, penting, kaya atau terkenal, yang dicari oleh-Nya. Tetapi justru orang-orang yang tidak terpandang, tidak berarti dan tidak berharga di mata masyarakat, yang diberi kesempatan pertama untuk meresponi panggilan-Nya. Karena bagi Tuhan orang-orang seperti itulah yang justru paling berharga! Bertentangan dengan pandangan umum, di mata-Nya mereka semua mempunyai potensi-potensi yang tinggi sekali!

Jadi, … apabila rasul-rasul yang tidak sempurna seperti mereka bisa dipercayai oleh Tuhan untuk memberitakan Injil-Nya, maka Anda dan saya yang mempunyai latar belakang yang tidak berbeda dengan mereka, juga bisa menerima kesempatan yang mulia tersebut.

Reinhard Bonnke sempat mengisahkan sebuah peristiwa yang terjadi ketika ia masih berumur sembilan tahun, tidak lama setelah ia menyerahkan hidupnya kepada Kristus. Sebagai seorang anak yang memang sedari kecil sudah ditentukan oleh Tuhan untuk melayani di ladang-Nya, ia menyadari kepekaan telinganya akan suara Roh Kudus. Pada suatu hari ia mendengar dengan jelas Tuhan berfirman kepadanya, bahwa kelak jika ia telah menginjak usia dewasa, Tuhan akan mengutusnya pergi untuk mengabarkan Injil di benua Afrika.

Menangis tersedu-sedu penuh keharuan ia berlari-lari menemui ayahnya, seorang hamba Tuhan yang berasal dari sebuah keluarga yang sudah beberapa generasi sebelumnya turun-temurun menggembalakan sebuah gereja kecil di salah satu kota terpencil di pedalaman negaranya. Sambil memeluk pinggul ayahnya erat-erat, tersengguk-sengguk ia berkata: “Papa, Tuhan baru saja berbicara kepadaku!”

Penuh ketidak-sabaran ayahnya mendesak Reinhard untuk segera menceriterakan pesan Tuhan tersebut kepadanya. Tetapi ketika anaknya baru saja selesai berkata-kata, ia langsung menolak untuk mempercayainya. Dengan tegas ia menegur: “Tetapi Reinhard, aku sudah menentukan kakak laki-lakimu untuk menjadi penerus gereja kita. Ialah yang akan mengambil-alih kedudukanku, … bukan engkau!”

Reinhard Bonnke tahu, bahwa ayahnya selalu mengutamakan kakaknya lebih dari dia. Dan semua itu disebabkan oleh karena kepandaian kakaknya di sekolah, terutama di bidang matematika. Ayahnya mengabaikan suatu kenyataan terpenting: … rumus-rumus matematika belum pernah menyelamatkan hidup manusia! Tetapi kebenaran Injil Tuhan Yesus Kristus masih terus bekerja di mana-mana sampai saat ini untuk memberi harapan kepada semua orang yang sudah tidak mempunyai harapan lagi!

Mungkin sekali kita bukan pilihan ayah-ayah kita, bahkan ditolak oleh teman-teman atau orang-orang di sekitar kita! Tetapi seperti yang telah dibahas sebelumnya, … Tuhan mempunyai logika yang amat berbeda dengan logika manusia! Sudah terbukti melalui sejarah kekristenan sepanjang masa, bahwa Ia selalu memilih orang-orang yang tidak terpandang dan yang tidak dihargai oleh masyarakat sebagai pengikut-pengikut yang mewakili pekerjaan-Nya di dunia. Justru kelemahan orang-orang seperti itu akan menyebabkan kekuatan-Nya tampak nyata sekali di mata umum.

Sebab Yesus tidak memilih oleh karena SIAPA kita, tetapi oleh karena APA YANG BISA IA LAKUKAN melalui kita!

Di Jerman ada sebuah istilah terkenal yang sering kali dipergunakan oleh orang-orang untuk mengejek kegagalan seseorang, atau menggambarkan ketidak-berhargaannya di mata mereka. Orang seperti itu biasanya dicaci dengan sinis oleh anggota-anggota keluarga atau teman-temannya: “Du bist ein Null!”

Jika diterjemahkan secara bebas, istilah itu berbunyi: “Engkau adalah sebuah Nol!” Ejekan tersebut ditujukan khusus kepada orang-orang yang dicap bodoh, malas, miskin, mempunyai paras yang tidak memadai standar umum, mahasiswa-mahasiswa yang tidak pernah diwisuda, atau penganggur-penganggur yang abadi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, … orang-orang yang sudah dari awalnya dihakimi oleh umum sebagai pecundang-pecundang di segala bidang! Mereka dijuluki: Nol-nol yang kosong!

Reinhard Bonnke mengakui, bahwa pada saat ia dipanggil untuk memulai pelayanannya di ladang Tuhan, ia hanya sebuah angka nol yang kosong belaka, seorang yang tidak mempunyai nilai apa-apa. Tetapi suatu hal yang indah sekali terjadi pada saat ia menanggapi panggilan Tuhan. Sebagai seorang tak berharga yang mengaku, bahwa Yesus adalah Tuhan yang menduduki takhta tertinggi di dalam hidupnya (Nomor Satu), ia menerima hikmat Roh Kudus untuk memahami logika sorgawi yang sebelumnya tampak sulit sekali untuk dimengerti olehnya.

Ketika Tuhan Yesus (Satu), memanggil dia yang tidak bernilai apa-apa (Nol), Reinhard Bonnke segera memberi tanggapan serta datang menghadap kepada-Nya. Pada saat ia berdiri di samping Tuhan, ia yang sebenarnya tidak berharga sama sekali, tiba-tiba bersama dengan Dia membentuk sebuah nilai yang amat sempurna! Berdua … mereka menjadi 10!

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2 Korintus 12:9a)

(Bersambung) 

SOMETHING BEAUTIFUL (4)

APAKAH YANG ADA DI TANGANMU ITU?

Thursday, March 19, 2009

Something Beautiful (2)


Oleh: John Adisubrata

MENGAPA MEREKA, TUHAN?

Kemudian naiklah Yesus ke atas bukit. Ia memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya dan merekapun datang kepada-Nya. Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil dan diberi-Nya kuasa untuk mengusir setan.” (Markus 3:13-15)

Ternyata alasan-alasan saya, dan juga orang-orang lain untuk menghindari panggilan Tuhan, bukanlah suatu hal yang unik lagi. Kalimat-kalimat pertanyaan seperti: “Mengapa aku, Tuhan?” atau “Siapakah aku ini, Tuhan?” adalah pertanyaan-pertanyaan yang sudah sering dipergunakan oleh orang-orang lain beribu-ribu tahun sebelumnya sebagai cara-cara mereka untuk meragukan panggilan-Nya.

Memperhatikan bagaimana Tuhan Yesus menentukan lokasi-lokasi di mana Ia menemui para pengikut-Nya, saya bisa melihat perbedaan yang amat kontras dengan hal-hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat dunia. Sebenarnya tindakan-Nya yang ‘aneh’ dan tidak ‘normal’ tersebut sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang semenjak dulu selalu berkecamuk di dalam hati saya!

Logika manusia mengajarkan, bahwa setiap orang yang membutuhkan asisten-asisten yang cerdik dan berbakat, yang bisa membantu menyelesaikan proyek-proyek yang amat besar dan penting, tentu akan mencari orang-orang tersebut di tempat-tempat di mana mereka dengan mudah bisa ditemukan untuk direkrut. Bukankah itu suatu hal yang amat logis? Saya jamin, dari dahulu sampai sekarang, proses seperti itu masih tetap berlaku di mana-mana!

Sering kali saya bertanya-tanya, … mengapa Tuhan Yesus tidak menemui orang-orang yang paling cerdik dan terpandai di perguruan-perguruan tinggi kota Yerusalem saja? Bukankah di sana Ia bisa memilih dari antara mereka calon-calon asisten-Nya yang optimal?

Atau, … mengapa Ia tidak menentukan beberapa ahli Taurat yang paling mahir pada zaman itu, dan mengangkat mereka menjadi tangan-tangan kanan-Nya? Bukankah tidak semua dari para ahli Taurat yang disebut di dalam Alkitab adalah orang-orang yang berusaha untuk membunuh Dia? Tentu jauh lebih mudah bagi Yesus untuk mengajar orang-orang terpelajar seperti mereka, yang sudah mempunyai latar belakang kerohanian yang cukup, dari pada merintis orang-orang baru yang sama sekali tidak mempunyai pendidikan apa-apa.

Bukankah Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus adalah sebuah ‘proyek’ yang amat penting, yang membutuhkan orang-orang yang berkualifikasi tinggi? Sebuah tugas maha mulia yang tidak seharusnya dilaksanakan oleh para pengikut-Nya secara sembarangan!

Tetapi ternyata logika Tuhan tidak sama dengan logika-logika yang ada di dalam pikiran manusia. Bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah umum itu, Ia justru pergi menuju ke pantai danau Galilea untuk menemui dan memanggil orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai kualifikasi di bidang-bidang yang diperlukan oleh-Nya.

Di sana Ia mengajar sekelompok besar orang-orang yang sudah lama mengikuti-Nya ke mana-mana dan juga para nelayan setempat. Di depan mereka Ia memperlihatkan kuasa-Nya melalui sebuah mujizat yang terjadi di tengah-tengah danau yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya. Lalu Ia memanggil secara pribadi empat orang dari antara para penangkap ikan tersebut untuk dijadikan murid-murid-Nya, orang-orang biasa yang memiliki banyak sekali kelemahan dan kekurangan-kekurangan. (Matius 4:18-22)

Ketika Yesus mendekati Simon Petrus dan memanggilnya, Ia berkata, bahwa Petrus akan diubah oleh-Nya dari seorang penjala ikan menjadi seorang penjala manusia. Reaksinya terdengar amat senada dengan keluhan yang pernah keluar dari mulut nabi Yesaya. Injil Lukas mencatat: ‘Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.” (Lukas 5:8) Seperti yang sudah dialami oleh nabi Yesaya, dan juga oleh orang-orang lain yang dipanggil pada masa-masa berikutnya, kekudusan hadirat Tuhan segera melucuti dan memaparkan dosa-dosa mereka!

Keempat Injil Perjanjian Baru jelas memperlihatkan adanya tiga kelompok orang-orang yang sudah menjadi pengikut-pengikut Yesus.

Kelompok pertama: Orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat yang oleh karena merasa takjub akan pengajaran-Nya, akan jamahan kasih karunia-Nya, dan akan mujizat-mujizat yang sudah dilakukan oleh-Nya, dengan sukarela mau mengikuti-Nya ke manapun Ia pergi.

Kelompok kedua: Orang-orang yang dipanggil langsung oleh Tuhan Yesus secara perseorangan untuk mengikuti dan menjadi murid-murid-Nya.

Dan kelompok yang ketiga: Orang-orang yang dipilih oleh Tuhan secara spesifik sekali dari kedua kelompok pertama untuk dijadikan rasul-rasul-Nya.

Ketika tiba saatnya bagi Yesus untuk menentukan ke-12 rasul yang akan mengambil alih pelayanan-Nya di dunia pada saat itu, Ia naik ke atas bukit untuk berdoa. Injil Lukas melukiskannya seperti ini: “Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah. Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul: …” (Lukas 6:12-13)

Semalam-malaman berarti sepanjang malam, atau … 12 jam penuh. Dari jam enam sore sampai keesokan harinya, jam enam pagi. Ternyata untuk menentukan ke-12 rasul tersebut saja, Ia memerlukan waktu semalam suntuk untuk bersekutu dengan Allah Bapa di sorga. Jadi, untuk setiap pribadi yang akan dipilih oleh-Nya Ia berdoa selama sejam!

Tetapi yang masih sering dipertanyakan sampai saat ini oleh orang-orang, termasuk saya, adalah: Sesudah menghabiskan waktu begitu lama, … mengapa keesokan harinya Ia menentukan rasul-rasul-Nya secara serampangan sekali?

Ia memilih Petrus, seorang nelayan yang bermulut besar. Cepat sekali berkata-kata tanpa memperhitungkan sebelumnya kemampuan untuk melaksanakannya! Kerap kali ia bertindak dengan membabi-buta tanpa mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi sebagai akibatnya. Ia juga memilih Yohanes dan Yakobus, anak-anak Zebedeus. Mereka dicatat di dalam Alkitab sebagai rasul-rasul yang bertemperamen tinggi sekali. Jika mereka merasa tersinggung atau marah, mereka cenderung untuk bertindak penuh kekerasan. (Lukas 9:54)

Tetapi yang paling menguatirkan, Ia mau memilih Yudas! Selain akhirnya terbukti, bahwa ia adalah seorang pengkhianat yang sudah menjual Tuhan Yesus seharga 30 keping uang perak, ia juga dikenal di dalam Alkitab sebagai seorang pencuri krocoan yang justru ditunjuk dan dipercayai oleh-Nya untuk membendaharakan keuangan mereka sehari-hari!

Apakah yang menyebabkan Yesus memilih orang-orang semacam itu? Mengapa Ia tidak merekrut orang-orang yang pada dasarnya sudah pandai dan terpelajar saja, yang telah dikenal baik oleh masyarakat sebagai orang-orang yang bisa diandalkan dan dipercayai?

Di dalam Injil Matius 22, Yesus mengisahkan sebuah perumpamaan mengenai seorang raja yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya. Ia mengundang banyak orang yang ternyata ogah sekali untuk menghadiri pestanya. Oleh karena itu ia menyuruh hamba-hambanya mengundang orang-orang lain, baik dan jahat, yang dijumpai oleh mereka di persimpangan-persimpangan jalan. Kendatipun ruangan perjamuan kawin itu akhirnya dipenuhi oleh tamu-tamu ‘cadangan’ tersebut, ternyata ada di antara mereka yang masih tidak mau menghargai kehormatan itu! Perumpamaan yang sebenarnya melambangkan keadaan Kerajaan Sorga di dunia saat ini, ditutup oleh-Nya dengan sebuah peringatan yang sangat mengerikan: Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.” (Matius 22:14)

Di sini Tuhan ingin menekankan, bahwa sesudah dipanggil pun belum tentu kita dipilih. Dan seandainya kita dipilih pun kita harus selalu berhati-hati, agar dengan berlalunya waktu, kita tidak berubah menjadi orang-orang yang bersikap tamak seperti Yudas, yang berani mengkhianati Kristus dan tubuh-Nya untuk kepentingan-kepentingan diri sendiri!

‘Maka berbicaralah ia, katanya: “Inilah firman TUHAN kepada Zerubabel bunyinya: Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, firman TUHAN semesta alam.” (Zakharia 4:6)

(Bersambung) 

SOMETHING BEAUTIFUL (3)

NOL-NOL YANG KOSONG

Friday, March 13, 2009

Something Beautiful (1)


Oleh: John Adisubrata

SIAPAKAH AKU INI, TUHAN?

Tetapi Musa berkata kepada Allah: “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?” (Keluaran 3:11)

Pertanyaan Musa: Siapakah aku ini? ketika ia diperintahkan oleh TUHAN untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir tampaknya adalah kalimat pertanyaan yang paling sering diajukan oleh orang-orang pada saat mereka dipanggil oleh-Nya. Saya yakin, setiap orang ketika mengalaminya, akan memberikan reaksi yang sama untuk mempertanyakan kemampuan mereka terlebih dahulu.

Lebih dari 10 tahun yang lalu saya mengalaminya. Persis seperti Musa, seketika itu juga saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Dia: “Mengapa aku, Tuhan?” Itulah reaksi saya yang pertama. Saya akui, pada saat itu saya merasa bingung sekali. Selain belum mengerti maksud dan tujuannya, saya juga mencoba mencari berbagai macam cara dan alasan-alasan untuk menghindarinya. Saya tidak menyadari, bahwa pertanyaan itu sebenarnya adalah sebuah ‘default question’ yang dilakukan oleh hampir setiap orang. Karena ... terus terang saja, setelah cukup lama mempertimbangkannya secara seksama, saya tidak bisa melihat keuntungan Tuhan memanggil diri saya.

Bagaikan Musa, dengan halus saya berusaha untuk menolak tugas yang diberikan oleh-Nya. Padahal hanya tugas yang sederhana saja, bukan tugas monumental. Seperti beban yang umumnya diberikan kepada orang-orang lain yang baru diselamatkan, yaitu untuk menjadi saksi mengenai kasih karunia-Nya kepada umat yang masih belum mengenal Dia. Kelihatannya memang sangat kecil dan tidak berarti jika dibandingkan dengan tugas raksasa yang Ia bebankan kepada Musa.

Kitab Keluaran mencatat keluhan Musa: Lalu kata Musa kepada TUHAN: “Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulupun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mupun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah.” (Keluaran 4:10) Saya bisa memahami sekali keluhannya itu. Siapakah yang tidak merasa gentar kala menerima tugas untuk memimpin berjuta-juta umat yang bertengkuk tegar, untuk pergi meninggalkan negara bengis yang sudah memperbudak mereka selama beratus-ratus tahun? Bahkan saya menyetujui keberaniannya ketika ia menolak dengan halus: “Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus.” (Keluaran 14:13)

Kendatipun sebelumnya saya tidak pernah mempelajari isi Alkitab, bahkan tidak pernah menyadari reaksi-reaksi Musa, Yeremia, Yesaya atau Petrus ketika mereka dipanggil oleh Tuhan, yang amat menakjubkan, reaksi yang saya berikan kepada-Nya ternyata serupa sekali. Saya teringat perkataan nabi Yeremia: Maka aku menjawab: “Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda.” (Yeremia 1:6) Saya tahu, ketika itu saya bukan seorang anak muda lagi, tetapi kurang-lebih alasan itulah yang saya pergunakan.

Seperti mereka, saya termasuk golongan orang-orang yang ‘introvert’, pemalu, bahkan boleh dikatakan … cukup pendiam! Oleh karena itu, seperti ayah saya, jarang sekali saya mau berkata-kata, jika saya tahu hal itu tidak perlu saya lakukan. Saya juga bukan seorang yang selalu haus akan kedudukan, seorang yang sibuk menjalin hubungan dengan orang-orang penting di tempat-tempat ‘maha tinggi’, seorang yang selalu ingin dilihat bergaul dengan para konglomerat, atau orang-orang terpandang lainnya. Justru kebalikannya! Saya merasa jauh lebih sejahtera bergaul dengan orang-orang biasa, orang-orang yang sederhana, orang-orang yang tidak memandang muka atau kedudukan orang lain.

Kenyataan-kenyataan tersebut membuat saya menjadi semakin bingung: “Tuhan, apakah Engkau tidak keliru?” Bukankah di tempat-tempat ibadah, mereka yang mempunyai kedudukan-kedudukan tinggi di dalam masyarakat, kekayaan yang berlebih-lebihan, koneksi-koneksi yang bisa menguntungkan gereja atau para pengurusnya, … merekalah yang selalu diperhatikan dan dipromosikan? Bukankah oleh karena itu pengaruh-pengaruh mereka di antara para jemaat gereja, dan juga masyarakat umum di sekitar mereka, amat besar?

Sedangkan saya? Siapakah yang bisa saya pengaruhi? Saya hanya seorang biasa yang mempunyai bakat-bakat dan pendidikan yang sedang-sedang saja. Segala sesuatu yang saya duga saya ‘miliki’, … tidak ada yang menonjol, tidak ada keistimewaannya!

Bakat saya di bidang kesenian musik biasa-biasa saja. Bermain gitar juga ala kadarnya, selama saya bisa mengiringi puji-pujian di persekutuan-persekutuan doa atau cell group kami. Jelas saya bukan tandingan Carlos Santana atau Jimi Hendrix. Padahal ingin sekali saya bisa memanipulasi senar-senar gitar seperti rekan-rekan seiman di gereja kami yang begitu mahir dan cekatan sekali menggunakan jari-jari tangan mereka kala bermain musik, mengiringi acara-acara puji dan sembah di hari Minggu. Saya juga mempunyai hasrat terpendam yang amat besar untuk pada suatu saat bisa menggubah lagu-lagu rohani yang unik untuk Tuhan, seperti Reuben Morgan, Marty Sampson, Matt Redman, Jonathan Prawira atau Robert Sutanto. Tapi, meskipun saya terus berusaha, saya tetap tidak bisa meraih taraf-taraf kemampuan mereka. Karena kenyataannya, … bakat bermain musik yang saya miliki memang terbatas sekali!

Begitu juga di bidang seni rupa. Menggunakan bakat-bakat artistik yang Tuhan karuniakan kepada saya, ingin sekali saya bisa menciptakan karakter-karakter kartun yang khas seperti Peanuts, Mickey Mouse, Bugs Bunny, atau karakter-karakter Anime Jepang. Di sinipun saya menyadari, bahwa bakat yang saya miliki tidak setinggi bakat-bakat para pencipta mereka: Charles Schulz, Walt Disney, Tex Avery, atau Hayao Miyazaki! Bahkan ketrampilan para pengarang buku-buku komik kawakan Indonesia yang berbakat luar biasa, seperti R A Kosasih, Taguan Hardjo atau Jan Mintaraga, tidak akan pernah bisa saya capai. Karena saya tahu, tingkat kemampuan mereka di bidang ini pun berada jauh di atas tingkat kemampuan saya!

Saya berhasrat untuk menjadi seorang arsitek yang bisa berhasil merancang sebuah landmark atau bangunan, … hanya satu saja, yang akan selalu dikenal dan dikenang oleh masyarakat setempat, bahkan oleh masyarakat dunia. Tetapi sekali lagi saya harus menyadari, bahwa saya bukan Ludwig Mies van der Rohe, Le Corbusier, Fumihiko Maki, Jorn Utzon, atau bekas professor saya sendiri: Gottfried Boehm. Arsitek-arsitek termasyhur ini jelas bukan tandingan-tandingan saya!

Bakat saya di bidang menulis buku, cerpen, kisah-kisah sejati maupun fiksi, juga hanya ‘mediocre’ saja. Di sinipun saya tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Ingin sekali saya menulis kisah-kisah menarik untuk anak-anak kecil berdasarkan ayat-ayat firman Tuhan seperti Max Lucado, atau menjadi penulis buku-buku bestsellers yang berbobot, seperti Philip Yancey, Tommy Tenney atau Rick Warren. Tetapi ternyata seperti bakat-bakat lainnya yang sudah saya singgung sebelumnya, … di bidang inipun kemahiran saya sangat terbatas!

Mempertimbangkan semua itu sekali lagi, saya menjadi semakin bertanya-tanya: Siapakah aku ini, Tuhan, sehingga Engkau mau memanggil dan memakai diriku? Aku tidak pandai bicara. Aku tidak mempunyai bakat-bakat yang cukup atau pendidikan yang istimewa, yang berguna bagi kebesaran kerajaan-Mu! Selain itu, hati dan pikiranku masih sering diliputi oleh hal-hal yang kotor dan tidak kudus. Aku sering kecewa, tidak puas, pahit, dendam dan hal-hal lain yang membuat diriku merasa amat tidak layak untuk mengerjakan tugas yang Kauberikan kepadaku ini. Lagi pula … aku adalah seorang laki-laki yang sama sekali tidak bisa membanggakan masa lalunya. Apakah Engkau tidak keliru?”

Teringatlah saya akan pernyataan nabi Yesaya ketika ia dipanggil oleh Tuhan: ‘Lalu kataku: “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.” (Yesaya 6:5)

(Bersambung) 

SOMETHING BEAUTIFUL (2)

MENGAPA MEREKA, TUHAN?

Wednesday, March 4, 2009

Iman: Jadilah Seperti Rio


Oleh: John Adisubrata

“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” (Lukas 18:17)

Kata iman dan definisinya sering kali menjadi sebuah tema perbincangan orang-orang kristiani, yang oleh karena pengertiannya terlalu dipersulit, bisa berubah menjadi sebuah tema perdebatan yang tak berguna bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Apalagi jika sudah berbentuk debat kusir mengenai tema-tema yang berhubungan dengannya. Khususnya: Mujizat, … mulai dari kesembuhan-kesembuhan adikodrati sampai hal-hal supranatural lainnya!

Padahal menurut Alkitab, iman itu sebenarnya sederhana sekali!

Injil-Injil Matius, Markus dan Lukas menceriterakan sebuah kejadian yang yang sama, di mana Yesus memakai seorang anak kecil yang masih murni imannya sebagai teladan untuk menegur ‘kesombongan’ iman murid-murid-Nya.

Ketika mendengar hal yang dipertengkarkan oleh mereka dalam perjalanan ke kota Kapernaum mengenai siapakah sebenarnya yang terbesar di antara para murid-Nya, Ia memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka. Sambil memeluk anak itu Yesus memperingati murid-murid-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 18:3-4)

Kitab Ibrani menerangkan definisi iman dengan jelas sekali: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibrani 11:1) Di antara ayat-ayat lainnya, yang menguraikan dengan terperinci sekali arti iman menggunakan tokoh-tokoh Alkitab sebagai contoh-contohnya, tertulis di sana syarat terpenting bagi setiap orang untuk bisa menjadi pengikut Kristus: “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.” (Ibrani 11:6a) Padahal menurut surat rasul Paulus kepada jemaat di Efesus jelas dikatakan, bahwa keselamatan dan iman adalah karunia yang berasal dari Tuhan: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, …” (Efesus 2:8)

Iman selalu berhubungan dengan kemuliaan Tuhan dan kebenaran firman-Nya. Ia selalu berpusat pada Yesus serta ajaran-ajaran-Nya. Karena orang-orang yang beriman akan selalu membaca Alkitab, berusaha mendengarkan suara Tuhan, mengetahui rencana-rencana-Nya bagi kehidupan mereka, dan yang paling penting, bersedia untuk melakukan perintah-perintah-Nya!

Iman adalah percaya, bahwa Yesus datang sebagai Juruselamat dunia, disalibkan, mati dan dikuburkan untuk menebus dosa-dosa kita! Pada hari yang ketiga Ia bangkit kembali, naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Dan pada saat mendatang yang sudah ditentukan oleh Bapa di sorga, Ia akan turun kembali ke dunia untuk menghakimi setiap orang yang hidup dan yang telah mati.

Iman adalah percaya, bahwa orang-orang yang beriman kepada Yesus juga akan bangkit di akhir zaman, karena Ia sudah mengalahkan maut untuk selama-lamanya. (1 Korintus 15:55-57)

Iman adalah percaya, bahwa bersama Yesus kita bisa melakukan hal-hal yang luar biasa bagi kebesaran kerajaan Tuhan, menjadi pelita yang bersinar terang bagi-Nya di tengah-tengah kegelapan yang sedang mencekam dunia ini, meraih dan memberikan harapan kepada orang-orang lain yang sudah tidak mempunyai harapan lagi.

Kesimpulannya: Iman adalah percaya kepada Tuhan dan percaya pada kebenaran firman-Nya! Dan bukan: Percaya kepada iman, atau: Percaya, karena beriman kepada iman! Definisi yang keliru tersebut sudah menyebabkan pengertian kata ‘iman’ akhir-akhir ini disimpang-siurkan oleh orang-orang di kalangan tubuh Kristus sendiri.

Yesus ingin agar kita mempunyai iman seperti anak-anak kecil yang mau menerima kebenaran firman Tuhan tanpa menggunakan logika-logika dunia yang selalu menuntut bukti-buktinya terlebih dahulu. Jelas yang dimaksud terbesar di sorga oleh Tuhan Yesus di Matius 18:1-5 bukan anak-anak kecilnya, tetapi iman mereka, yang masih diliputi oleh kemurnian hati dan kesederhanaan pikiran yang belum terkontaminasi oleh illah-illah masa kini. Ia berkata, bahwa kita akan menjadi besar, bahkan terbesar di sorga, jika kita mempunyai iman seperti anak-anak kecil tersebut.

Beberapa tahun yang lalu, di antara banyak e-mails yang saya terima melalui sebuah milis kristiani di Indonesia, saya membaca sebuah ceritera fiksi yang sangat menggelitik hati mengenai iman seorang anak kecil bernama Rio. Saya tidak bisa melupakan isi ceriteranya yang dengan jitu sekali mengilustrasikan pernyataan Yesus kepada murid-murid-Nya di ketiga Injil itu mengenai iman seorang anak kecil, tetapi … dalam bentuk humor.

Kisah tersebut dimulai dengan hasrat Rio yang amat besar untuk bisa melanjutkan sekolahnya. Tetapi orang tuanya tidak mampu untuk membiayai keinginannya. Selain itu ibunya yang sedang sakit membutuhkan banyak biaya untuk pengobatannya.

Setelah mempertimbangkan cukup lama, dengan iman Rio memutuskan diri untuk menulis surat kepada Tuhan:

Kepada Yang Terhormat
Tuhan di sorga

Tuhan, namaku Rio. Aku ingin meneruskan sekolahku, tetapi orang tuaku tidak mempunyai uang. Ibuku juga sakit, sehingga biaya keperluan rumah tangga kami menjadi semakin meningkat.

Tuhan, aku membutuhkan uang Rp 200.000 untuk membeli obat ibuku, Rp 200.000 untuk membayar uang sekolahku, Rp 100.000 untuk membayar seragamku, sedangkan Rp 100.000 untuk membayar harga buku-bukuku. Jadi jumlah uang yang aku butuhkan dari-Mu saat ini hanya Rp 600.000 saja.

Terima kasih, Tuhan. Aku akan menantikan uang kiriman-Mu dengan sabar.

Dari Rio

Rio segera pergi ke kantor pos untuk mengirimkan suratnya. Membaca alamat yang tertulis di sampulnya, petugas kantor pos merasa iba sekali, sehingga ia tidak tega untuk mengembalikan surat itu kepada Rio. Bingung menentukan apa yang harus ia lakukan, akhirnya petugas kantor pos tersebut menyerahkan suratnya ke kantor polisi di seberang jalan.

Membuka dan membaca isi surat tulisan Rio, komandan polisi pun menjadi terharu sekali. Ia menceritakannya kepada seluruh anak buahnya. Lalu bersama-sama mereka mengambil keputusan untuk mengumpulkan uang bagi Rio. Setelah dihitung, ternyata dana yang berhasil mereka kumpulkan hanya berjumlah Rp 540.000 saja.

Sang Komandan menyelipkan uang itu ke dalam sebuah amplop, dan menulis di sampulnya: “Untuk Rio, dari Tuhan di sorga”. Lalu ia memerintahkan bawahannya untuk mengantar dan menyerahkan bingkisan kecil tersebut secara pribadi kepada Rio.

Ketika menerima dan menghitung jumlah uang yang diterima olehnya, di samping merasa senang karena permintaannya telah dikabulkan oleh Tuhan, Rio merasa sangat tidak puas. Ia mengambil secarik kertas, lalu menulis surat lagi kepada Tuhan:

“Tuhan, lain kali kalau Engkau mengirimkan uang kepadaku, jangan lewat polisi dong. Karena uang kiriman-Mu sudah dipotong 10 persen oleh mereka. Rio

RIO REALLY ROCKS! 

John Adisubrata
November 2008