Saturday, May 30, 2009

Semuanya adalah Kasih Karunia (8)


Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN KELIMA: THE LORD’S PRAYER

‘Karena itu berdoalah demikian: “Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. [Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin]” (Matius 6:9-13)

Ketika Ev Jeffrey Rachmat meminta agar artis Viona Likumahua, anggota grup VOG, menyanyikan lagu penyembahan: The Lord’s Prayer, sebelum ia memulai khotbahnya, terjadilah hal yang amat mengherankan pada diri saya!

Saya merasa ada ‘sesuatu’ yang bermuara dari dalam diri saya mulai membuih ke luar secara luar biasa. Suara Viona yang indah dan lantang tersebut, yang volumenya juga terbantu oleh kesempurnaan peralatan musik mereka, tiba-tiba saja menyebabkan sebuah gejolak yang sangat asing terjadi di dalam diri saya! Tubuh saya terasa aneh, kondisinya tidak bisa diprediksi sama sekali. Terkadang suhunya naik dengan pesat, membuat tubuh saya terasa panas sekali, tetapi tidak lama kemudian menurun lagi dengan drastis, sehingga tiba-tiba saja saya merasa kedinginan. Seakan-akan tubuh saya sedang meriang oleh serangan flu, tetapi … bukan! Suatu hal yang tidak bisa saya terangkan menggunakan kata-kata!

Kelantangan suara Viona yang terdengar jelas melalui peralatan musik mereka yang canggih itu, tiba-tiba saja terganti oleh alunan suara amat jernih yang bukan berasal dari dalam ruang gereja tersebut, tetapi datang dari suatu tempat yang berjarak jauh, … jauh sekali, entah … berapa jauhnya. Suara itu mengatasi, bahkan mengambil alih seluruh keindahan dan kenyaringan alunan suara Viona, suara yang terdengar jauh lebih sempurna lagi dari pada suara-suara indah para artis yang sedari tadi saya dengar dikumandangkan keluar melalui speakers besar dan modern yang mereka pakai di dalam gereja itu.

Seakan-akan pada saat itu saya sedang mendengarkan keindahan alunan paduan suara dari entah … beberapa ribu malaikat sorgawi, yang menyanyikan lagu gubahan Albert Hag Malotte, lagu yang keseluruhannya khusus diciptakan menggunakan ayat-ayat firman Tuhan sebagai syairnya. Sebuah lagu berdasarkan pola doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada para pengikut-Nya.

Kejernihan dan kesempurnaan suara ganda para malaikat tersebut tidak bisa saya uraikan dengan kata-kata yang ada di dalam perbendaharaan kata yang saya miliki, di dalam bahasa apa pun yang saya ketahui, atau yang pernah saya pelajari. Saya merasa hati saya sangat terharu, seolah-olah saya sedang ‘diangkat’ ke luar oleh malaikat-malaikat itu dari dalam ruang gereja tersebut ke suatu ‘alam’ yang lain. Saya merasa seperti ada sesuatu yang mau memenuhi diri saya, … atau mungkin sekali, … hati saya!

Tetapi, seperti yang sudah berkali-kali saya tulis sebelumnya, … tentu saja pada waktu itu saya masih belum mengerti!

Sejenak pikiran manusiawi saya mengingatkan: “Aku harus lebih berhati-hati, … jangan sampai terjadi apa-apa, yang bisa membuat aku melakukan hal-hal yang memalukan. Nanti orang-orang mengira aku sudah berubah menjadi orang gila!”

Pikiran itu mendorong saya untuk segera memerangi sensasi yang sedang saya alami tersebut. Saya berhasrat untuk bangkit berdiri, dan secepatnya meninggalkan ruangan itu dengan alasan mencari anak saya yang sedang bermain dengan teman-teman sebayanya di ruang sebelah. Tetapi ketika saya masih menoleh ke arah kiri ruangan, mempelajari jalan yang tercepat untuk bisa menemuinya tanpa mengganggu acara ibadah di sana, suatu hal ajaib yang lain terjadi!

Sebelum saya berhasil beranjak pergi, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang tersangkut di dalam tenggorokan, yang menyebabkan saya menjadi batuk kurang-lebih lima kali. Hal itu mengakibatkan sensasi yang sedang saya alami tersebut berhenti secara total, … hilang lenyap tak berbekas!

Kendatipun hati saya merasa lega sekali, karena semua itu telah berlalu, saya masih termanggu-manggu di tempat, berusaha untuk mencernakan di dalam hati makna dan tujuan kejadian yang baru saja saya alami tadi. Saya belum menyadari keseriusan peristiwa itu, apalagi mengetahui hal-hal ajaib lainnya, yang masih akan terjadi pada diri saya tidak lama sesudahnya!

Tak terasa … sejam berlalu dengan cepat sekali!

Setelah Ev Jeffrey Rachmat selesai berkhotbah, ia menantang para jemaat yang bersedia menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan untuk maju ke depan altar. Bagi saya altar call adalah suatu hal yang baru, yang belum pernah saya saksikan sebelumnya. Oleh karena tidak mengerti arti yang sebenarnya, saya hanya bisa mengomentarinya dengan sinis di dalam hati: “Apa-apaan sih ini?”

Tetapi saya merasa heran sekali ketika menyaksikan sejumlah orang yang bersedia untuk maju. Di depan mereka didoakan oleh Ev Jeffrey Rachmat dan beberapa hamba Tuhan yang lain. Saya melihat banyak orang yang ‘berjatuhan’ di depan altar tanpa mengerti sebab-sebabnya. Terus terang saja, saya merasa curiga sekali. Saya benar-benar meragukan semua yang sedang terjadi di sana. “Ah, jangan-jangan mereka hanya berpura-pura saja!” Pikir saya penuh ketidak-percayaan.

Tetapi di tengah-tengah kecurigaan dan rasa tidak percaya itu, kembali saya mendengar suara lembut yang sama di dalam hati nurani saya yang menantang dan menganjurkan, agar saya juga mau maju ke depan altar untuk membuktikan kebenarannya. Tentu saja saya menolaknya dengan tegas!

Istri saya, yang berdiri di sebelah kanan saya, tidak mengetahui segala sesuatu yang pada saat itu sedang terjadi di dalam diri saya semenjak kami berada di sana. Terutama pergumulan luar biasa yang sedang bergejolak di dalam hati saya. Oleh karena merasa malu, saya tidak mempunyai hasrat sama sekali untuk memberitahukan peristiwa itu kepadanya.

Tanpa sepengetahuan saya, semenjak tadi ia sudah meneteskan air matanya dengan diam-diam. Karena memang, … hadirat Tuhan yang luar biasa, yang sedang memenuhi ruang gereja itu, juga sudah memenuhi hatinya.

Aku berdoa untuk mereka. Bukan untuk dunia Aku berdoa, tetapi untuk mereka, yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab mereka adalah milik-Mu.” (Yohanes 16:9)

(Bersambung)

SEMUANYA ADALAH KASIH KARUNIA (9)
Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN KEENAM: AMAZING GRACE

Tuesday, May 26, 2009

Semuanya adalah Kasih Karunia (7)


Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN KEEMPAT: HADIRAT YANG MAHAKUASA

“segera aku dikuasai oleh Roh dan lihatlah, sebuah takhta terdiri di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang.” (Wahyu 4:2)

Gereja Indonesia tersebut terletak cukup jauh dari daerah tempat tinggal kami. Setiap minggu ibadah mereka dimulai jam 1.00 siang, dan biasanya berlangsung kurang-lebih dua jam lamanya. Kami tiba di sana kira-kira jam 1.15, di mana kami disambut dengan ramah oleh para penerima tamu di ambang pintu. Mereka mengantar kami masuk ke dalam ruang gereja untuk mencarikan tempat-tempat duduk yang masih kosong.

Atas kehendak kami berdua, karena merasa sungkan sudah datang terlambat, kami memilih tempat-tempat duduk yang terletak jauh di belakang, di sebelah kanan ruangan.

Ruang gereja yang cukup besar tersebut diisi dengan tiga deretan bangku-bangku panjang, yang dipisahkan oleh dua lorong di mana orang-orang bisa berlalu-lalang dengan bebas. Kalau tidak salah di deretan tengah, dua bangku tersebut disambung menjadi satu, untuk menyediakan jemaat tempat-tempat duduk yang lebih banyak. Setiap bangku bisa memuat paling sedikit tujuh orang. Kami bertiga duduk di deretan bangku-bangku yang sebelah kanan, ketiga dari yang paling belakang. Di deretan di depan bangku kami ada kira-kira tujuh bangku yang semuanya sudah diduduki oleh para pengunjung.

Siang itu ruang gereja tersebut dipenuhi oleh banyak orang. Tampak penuh sesak sekali, membuat suasana ibadah di sana tampak jauh lebih meriah lagi. Mungkin kedatangan para artis VOG dan The True Worshippers sebagai tamu-tamu agung mereka sudah berhasil menarik ke sana banyak sekali pengunjung-pengunjung baru seperti kami, yang sebenarnya bukan jemaat regular mereka.

Ketika kami bertiga baru saja memasuki ruangan itu, saya bisa segera mengenali irama lagu pujian yang sedang mereka nyanyikan di sana. Semalam, di Brisbane City Hall, saya sudah mendengar lagu tersebut dibawakan oleh mereka.

Selain menyadari hal itu, pada waktu saya menginjakkan kaki di dalam ruang gereja Indonesia tersebut untuk pertama kalinya, saya juga bisa merasakan sesuatu yang amat ‘asing’, yang tidak bisa saya jelaskan dengan kata-kata sedang terjadi, baik di dalam ruangan itu (atmosfirnya), maupun yang sedang bergejolak di dalam tubuh (diri pribadi) saya.

Saya merasa bingung, … kikuk sekali dengan suasana meriah yang sedang berlangsung di sana. Entah mengapa, hati saya merasa amat tidak ‘sejahtera’ ketika memasukinya. Mungkin sepatah kata yang kurang tepat untuk dipergunakan di situ, tetapi … kurang-lebih perasaan itulah yang saya alami. Apakah disebabkan oleh karena sikap saya yang sedari dahulu sudah antipati sekali dengan gereja itu, atau ada sesuatu yang tidak saya kenal di dalam ruangan tersebut yang menyebabkan saya merasa, bahwa tidak seharusnya saya berada di tempat itu.

Terus terang saja, sampai saat ini saya masih tetap tidak bisa melukiskannya dengan tepat, apa yang pada siang hari itu sedang terjadi pada diri saya, baik di dalam tubuh, maupun di dalam hati saya.

Saya mengalami sesuatu yang jelas bukan berasal dari dunia ini, suatu hal adikodrati, yang entah mengapa, … menyebabkan seluruh tubuh saya terasa asing sekali! Seolah-olah secara tiba-tiba saya mempunyai kemampuan untuk ‘melihat’ apa yang sedang terjadi di dalam ruang gereja itu, yang sebenarnya tidak terlihat secara kasat mata, oleh manusia biasa pada umumnya. Suatu kemampuan, yang saya ketahui dengan pasti, belum pernah saya miliki sebelumnya. Saya menyaksikan di sebelah atas altar gereja, di dalam ruangan yang berplafon cukup tinggi tersebut, sesuatu yang sedang melayang-layang. Entah apa, … sesuatu yang ketika itu tidak bisa saya pahami sama sekali!

Selain itu seakan-akan udaranya dipenuhi oleh suatu kabut putih, seperti kepulan-kepulan asap rokok yang tebal, yang tidak terlihat oleh mata jasmani saya, tetapi bisa saya rasakan, … bisa saya raba dengan ‘perasaan’ hati saya.

Sensasi yang saya alami tersebut timbul dan lenyap secara bergantian, membuat hati saya menjadi semakin merasa tidak tenang saja, … berusaha untuk memahami sebab-musababnya.

Ada apa ini?” Pikir saya dengan hati gelisah.

Dan, … seperti kejadian-kejadian lainnya yang berturut-turut saya alami semalam dan sepanjang pagi hari beberapa jam sebelumnya, tentu saja pada waktu itu saya masih belum mampu untuk memahami apa yang sedang (dan akan) terjadi pada diri saya! Terutama … impact luar biasa yang akan mempengaruhi kehidupan kami sekeluarga sesudahnya!

“Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” (Ayub 42:5-6)

(Bersambung)

SEMUANYA ADALAH KASIH KARUNIA (8)
Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN KELIMA: THE LORD’S PRAYER

Wednesday, May 20, 2009

Semuanya adalah Kasih Karunia (6)


Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN KETIGA: KUASA DOA

“Tetapi aku, aku berdoa kepada-Mu, ya TUHAN, pada waktu Engkau berkenan, ya Allah; demi kasih setia-Mu yang besar jawablah aku dengan pertolongan-Mu yang setia!” (Mazmur 69:14)

Oleh karena jalan terakhir untuk bisa menepati janji yang sudah diberikan oleh istri saya kepada para ibu dari persekutuannya tampak tertutup juga, ia mengusulkan, agar kami sekeluarga saja yang pergi ke gereja untuk mengantarkan kue-kue sus tersebut. Alasannya, jika ia sudah bersedia menerima tugas itu, maka ia harus mau bertanggung-jawab dan menyelesaikan semuanya sebaik mungkin.

Peristiwa yang sama terulang lagi! Persis seperti ketika saya diajak pergi ke konser musik rohani malam sebelumnya, saya juga memprotes usulnya tersebut! Kembali berbagai alasan yang sudah sering didengar olehnya, saya lontarkan dengan gencar di hadapannya, memperlihatkan sikap saya yang sebenarnya terhadap gereja Indonesia itu.

Tetapi seperti biasa, tanpa mempunyai keinginan untuk memperuncing suasana, ia menjawab: “Ya sudah, kalau kamu memang tidak mau kita pergi ke sana, … ya ‘nggak apa-apa. Asalkan kamu sendiri yang mau pergi ‘nganterin kue-kue ini. Serahkan saja kepada mereka, dan sesudah itu … kamu bisa langsung pulang kembali.”

Sambil tetap menunjukkan raut muka kurang senang, akhirnya saya terpaksa harus menyetujui usul tersebut. Karena saya tahu, selain itu tidak ada jalan lain lagi bagi kami berdua untuk bisa menyelesaikan masalah pengiriman kue-kue sus yang menjengkelkan tersebut dengan baik.

Sementara istri saya masih melanjutkan pengovenan yang terakhir, saya juga meneruskan tugas melicinkan bertumpuk-tumpuk pakaian yang sudah beberapa minggu sebelumnya dicuci, tetapi belum sempat kami seterika.

Saya ingat sekali akan ‘perdebatan panas’ yang mulai timbul kembali di dalam hati nurani saya, ketika saya masih sibuk mengerjakannya. Di tengah-tengah ‘keributan’ itu, kembali saya mendengar beberapa kali teguran suara tenang yang sama, yang menganjurkan: “Kamu khan tahu sendiri, kalau istrimu ingin sekali pergi ke gereja tersebut siang hari ini? Kalau kamu toh harus ‘ngantarkan kue-kue sus itu ke sana, kenapa kamu tidak mengajak istri dan anakmu juga, sekalian ikut ‘ngerayain pestanya?”

Tentu saja seperti kejadian yang saya alami sebelumnya, saya tidak mengerti atau mengetahui, ‘SIAPAKAH’ yang sedang berkata-kata di dalam hati saya, karena pada waktu itu semuanya tampak lumrah sekali, tidak mempunyai arti apa-apa. Saya tetap menduga, bahwa suara itu berasal dari suara-suara hati nurani saya sendiri.

Setelah mempertimbangkan anjuran itu beberapa saat lamanya, saya lalu pergi menemui istri saya yang menjadi terkejut sekali mendengar keputusan saya yang tiba-tiba berubah tersebut. Langsung ia menghubungi temannya lagi, yang pada saat itu sedang bersiap-siap dengan keluarganya hendak berangkat. Istri saya mengatakan, bahwa kami sudah berubah pikiran dan akan mengantarkan kue-kue sus itu secara pribadi ke gerejanya. Bahkan kami bertiga akan tinggal di sana serta mengikuti acara ibadah perayaan mereka!

Tanpa sepengetahuan kami, sesudah istri saya menghubunginya untuk pertama kali beberapa jam sebelumnya, sepanjang pagi itu ia terus berdoa untuk kami sekeluarga, memohon kepada Tuhan, agar kami mau menghadiri pesta hari ulang tahun gerejanya.

Istri saya ingat sekali akan reaksi yang ia berikan ketika baru mendengar keputusan kami tersebut: “Ini pasti Tuhan mempunyai suatu rencana yang indah ...!” Itulah kalimat tanggapan yang diucapkan olehnya kepada istri saya melalui telepon. Saya kutipkan kata demi kata, persis seperti itu!

Setelah inti dari kisah pertobatan saya ini terjadi dan berlalu, barulah saya mengerti dan menyadari pentingnya doa di dalam kehidupan orang-orang yang beriman, akan kuasa doa orang-orang yang sudah dibenarkan oleh darah Kristus. Alkitab mengatakan, bahwa doa-doa mereka mempunyai kuasa untuk menentukan, bahkan mengubah suasana!

Tetapi, seperti yang sudah berkali-kali saya utarakan sebelumnya, … tentu saja pada waktu itu saya tidak tahu!

Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.” (Yakobus 5:16b)

(Bersambung)

SEMUANYA ADALAH KASIH KARUNIA (7)
Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN KEEMPAT: HADIRAT YANG MAHAKUASA

Friday, May 15, 2009

Semuanya adalah Kasih Karunia (5)


Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN KEDUA: GARA-GARA KUE SUS

Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, firman Tuhan semesta alam.” (Zakharia 4:6b)

Pagi hari itu keajaiban yang luar biasa mulai terjadi di dalam dapur kami. Apakah yang menyebabkannya, sukar sekali untuk bisa dipahami pada saat itu.

Pengovenan kulit kue-kue sus yang sudah diperhitungkan dengan teliti sekali, yang semuanya harus selesai sebelum jam 10 pagi, ternyata jadwalnya menjadi tidak keruan. Entah mengapa, ... waktu yang diperlukan untuk pengovenannya tiba-tiba menjadi jauh lebih lama dari biasanya. Hampir tiga kali lipat!

Ternyata loyang-loyang dengan kulit kue-kue sus yang terakhir, yang masih harus masuk ke oven, baru bisa dilaksanakan jam 11.15 pagi. Berarti, ... 100 biji kue-kue sus tersebut baru selesai semua dan siap untuk dikirim kira-kira jam 12.15 siang. Penuh keheranan istri saya mengeluh sendiri: “Kok aneh sekali, ‘ngovennya bisa jadi begitu lama, padahal biasanya selalu selesai tepat sesuai jangka waktu yang sudah kuperhitungkan.”

Perlu diketahui, bahwa untuk membuat kulit kue-kue sus dengan hasil yang sempurna, tidaklah mudah. Apabila tidak dilakukan sesuai dengan peraturan yang sudah ditentukan, baik temperatur maupun jangka waktu pengovenannya, maka adonannya tidak akan bisa mengembang seperti seharusnya. Jika ternyata gagal dan menjadi bantat, maka semuanya akan terbuang dengan percuma! Oleh karena itu perbandingan suhu temperatur dan jangka waktu pengovenannya memegang peranan amat penting bagi pelaksanaannya!

Istri saya mulai merasa bingung, mengingat waktu yang sudah mendesak sekali. Ketika itu ia masih belum memberitahukan persoalannya kepada saya, karena saya berada di ruang sebelah, sibuk mengerjakan tugas rumah tangga yang lain. Lagi pula saya tidak pernah merasa tertarik untuk melihat cara-cara pembuatan kue yang merupakan passion terbesar di dalam hidupnya.

Secara mengherankan sekali, jangka waktu yang harus ditempuh untuk mengoven kulit kue-kue sus tersebut ternyata berubah menjadi berlipat-lipat ganda, seakan-akan mereka tidak mau merekah sesuai dengan waktu yang sudah diperhitungkan! Anehnya, kendatipun pengovenannya jauh lebih lama, kulit-kulit tersebut tetap merekah dengan sempurna! Padahal perbandingan suhu temperatur dan jangka waktunya tidak sesuai lagi dengan peraturan yang sebenarnya! Suatu hal yang biasanya tidak mungkin terjadi!

Pada waktu itu kami masih belum menyadari, bahwa ada ‘sesuatu’ yang sedang terjadi di dalam dapur kami. Suatu kejadian supranatural yang tak terduga, yang ketika itu makna dan tujuannya bagi kami berdua sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa.

Seperti yang sudah saya tulis beberapa kali sebelumnya, … hanya sesudah peristiwa yang berhubungan dengan pertobatan saya ini terjadi dan berlalu, barulah kami bisa memahami sebab-sebabnya.

Setelah akhirnya memperbincangkan dengan saya, yang pada waktu itu masih tetap belum mengerti masalah apa yang sedang dihadapi olehnya tersebut, istri saya segera menghubungi temannya untuk memohon kesediaan mereka menunggu titipan kue-kue sus yang baru dua jam kemudian siap untuk dijemput. Tetapi ibu itu berkata, bahwa mereka harus berangkat paling terlambat jam 11.30 siang, sebab anak gadisnya yang ikut pentas drama, harus latihan di tempat dengan grupnya terlebih dahulu, sebelum acara ibadah gereja dimulai.

Istri saya bisa segera mendengar melalui nada suara temannya, bahwa ia merasa kecewa sekali ketika mengetahui, bahwa oleh karena pendirian saya yang sudah tidak bisa diubah lagi, kami masih tetap menolak untuk hadir di gerejanya siang hari itu. Karena memang sudah berminggu-minggu lamanya ia berusaha untuk mempengaruhi istri saya, agar kami sekeluarga mau datang dan mengikuti acara ibadah perayaan mereka.

Kami tidak menyadari sama sekali, bahwa sepanjang pagi itu ia terus berdoa untuk kami bertiga!

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana.” (Amsal 19:21)

(Bersambung)

SEMUANYA ADALAH KASIH KARUNIA (6)
Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN KETIGA: KUASA DOA

Thursday, May 7, 2009

Semuanya adalah Kasih Karunia (4)


Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN PERTAMA: SENTUHAN DARI SURGA

“..., dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” (Yohanes 12:32)

Di luar dugaan saya, pada waktu konser itu dimulai, saya harus mengakui, bahwa mereka sudah berhasil memberikan suatu kejutan positif kepada saya. Ternyata taraf-taraf musik yang mereka sajikan di sana bagus dan profesional sekali. Kendatipun lagu-lagu yang mereka bawakan masih terdengar asing di telinga saya, semuanya itu disajikan dengan nada-nada dan irama-irama modern yang menarik, yang sesuai sekali dengan selera saya. Di atas panggung secara bergilir mereka tampil, dan di mana ada kesempatan, mereka membagi secara spontan sekilas kesaksian-kesaksian hidup mereka. Tampak transparan sekali, bahwa semua bakat yang mereka miliki, dengan kompak mereka persembahkan bersama-sama untuk memproklamirkan kebesaran nama Tuhan di depan kami, para penontonnya.

Perlu ditekankan di sini, bahwa kesan tersebut berasal dari seseorang yang pada waktu itu masih belum diselamatkan hidupnya! Karena seperti pandangan picik yang biasanya sudah ‘disahkan’ oleh semua orang, saya antipati sekali dengan orang-orang yang sedikit-sedikit menyebut nama Yesus di depan umum. Kebiasaan yang menurut saya aneh, dan ... sangat menjemukan! Tetapi malam itu, ... mengherankan sekali, tindakan-tindakan mereka yang tampak natural di atas panggung tersebut tidak membuat kejengkelan di dalam hati saya semakin bertambah!

Saya tidak pernah menyadari sebelumnya, bahwa lagu-lagu rohani bisa dibawakan secara kontemporer seperti itu, dengan irama-irama dan beats yang amat relevan. Sungguh berbeda dengan lagu-lagu rohani lainnya yang saya ketahui di gereja.

Nama-nama artis yang tampil malam itu tidak pernah saya dengar sebelumnya. Di antara mereka, hanya nama Nindy Ellesse saja yang dikenal oleh istri saya. Sedangkan Franky Sihombing, Sidney Mohede, Viona Likumahua*, Tylio Lobman, dan nama artis-artis lainnya, begitu juga para pemusiknya, adalah nama-nama yang baru pertama kalinya kami dengar di sana.

Ternyata tiket-tiket KKR tersebut terjual dengan sukses di kalangan masyarakat Indonesia di kota kami. Menyebabkan ruang konser di Brisbane City Hall penuh sesak oleh beratus-ratus penonton. Kebanyakan orang-orang Indonesia, tetapi ada juga orang-orang keturunan Indo-Belanda, dan beberapa orang bule. Bahkan ada beberapa pelajar/mahasiswa dari negara-negara yang lain. Yang amat menakjubkan, konser itu juga dihadiri oleh banyak sekali orang Indonesia yang tidak beragama Kristen. Kabarnya, Nindy Ellesse-lah yang menyebabkan mereka mau hadir di sana, menyangka bahwa itu adalah konser musik sekuler biasa. Tentu Tuhan mempunyai suatu rencana tertentu …!

Terus terang saja, malam itu saya merasakan ‘sesuatu’ yang belum pernah saya alami sebelumnya. Saya mendengarkan kesaksian-kesaksian, menyaksikan mereka menyanyi, dan memperhatikan sikap-sikap mereka yang amat bersungguh-sungguh saat memuji dan menyembah Tuhan. Suatu hal yang masih asing sekali bagi saya, sebagai seorang yang berdiri di ‘luar’, yang menerima kesempatan untuk menjenguk ke ‘dalam’.

Istilah Praise and Worship (Puji dan Sembah) juga baru saya ketahui untuk pertama kalinya malam itu, tanpa pengertian yang jelas mengenai arti atau maknanya. Saya harus mengakui, saya merasa heran sekali menyaksikan semua itu. Apakah hati saya sudah terjamah oleh pelayanan mereka? Saya tidak tahu. Yang saya ketahui dengan pasti, saat itu tanpa sebab saya merasa terharu sekali.

Tetapi kekerasan yang masih tetap menguasai hati saya terus berusaha untuk mempengaruhi, agar pandangan saya mengenai mereka atau suasana malam itu tidak berubah: “Bukankah ini hanya sebuah konser yang lumayan bagus saja. Besok pasti aku sudah melupakannya! Siapakah yang tertarik dengan lagu-lagu macam beginian?”

Sekarang setelah semuanya terjadi dan berlalu, mengingatnya kembali, saya merasa yakin sekali, bahwa pada malam itu ada orang-orang lain yang secara tidak langsung terpengaruh atau terjamah oleh pelayanan para artis tersebut. Mungkin ada yang kelak, pada waktu yang sudah ditentukan oleh Tuhan sendiri, menyadari akan pengaruh konser itu di dalam kehidupan mereka.

Ketika saat istirahat di tengah acara konser, kaset-kaset dan T-Shirts dari kedua grup tersebut dipromosikan oleh panitia penyelenggara. Masih terngiang-ngiang di dalam telinga komentar yang saya berikan kepada istri saya pada saat ia meminta pendapat untuk membelinya: “Terserah kamulah! Kalau mau, ya silahkan beli. Yang bakalan muter kaset-kaset itu khan kamu sendiri, aku sih ‘nggak bakalan mau ‘ndengerin lagu-lagu macam begituan!”

Saya ingat sekali, itulah jawaban yang saya berikan kepadanya, kata demi kata, kalimat demi kalimat, persis seperti itu!

Setiba di rumah kira-kira jam 10.00 malam, istri saya segera meneruskan pembuatan isi kue sus sampai larut malam. Kami berdua memutuskan untuk bersama-sama bangun jam 5.00 pagi keesokan harinya, agar ia bisa mengerjakan pembuatan kulitnya.

Sudah diperhitungkan dengan cermat sekali olehnya, bahwa kira-kira jam 10.00 pagi pengovenan kulit kue sus itu akan selesai. Melalui ibunya, seorang wanita keturunan Belanda, ia menerima didikan barat, di mana pengelolaan dan cara-cara mengatur waktu, adalah suatu hal yang amat penting. Oleh karena itu segalanya telah ia perhitungkan dengan seksama, agar kue-kue sus tersebut bisa selesai tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Perlu ditekankan di sini, bahwa pembuatan kue sus bukan suatu hal yang baru baginya!

Minggu malam keesokan harinya kami sekeluarga sudah mempunyai acara, yaitu pertemuan arisan di rumah seorang teman, yang digabung menjadi satu dengan perayaan hari ulang tahun anaknya. Disebabkan oleh karena acara-acara yang berurutan, dari konser di Sabtu malam sampai arisan besok sorenya, kami merasa semua itu agak terlampau membebani kebiasaan jadwal akhir pekan kami bertiga, terutama anak kami yang ketika itu baru berusia lima tahun. Kami memutuskan untuk tidak pergi ke ibadah Minggu siang gereja Indonesia tersebut, yang berkesinambungan dengan perayaan hari jadi mereka yang keenam.

Saya tahu, istri saya sebenarnya ingin sekali pergi ke sana, tetapi ia mau mengalah demi kebaikan dan kesejahteraan rumah tangga kami. Ia menyadari, bahwa saya tidak menyukai gereja itu, dan tidak bakalan mau pergi ke sana dengan suka rela, tanpa melawan terlebih dahulu! Setiap alasan yang bisa saya pergunakan untuk menghindari keterlibatan kami di sana, pasti akan saya katakan dengan terus terang kepadanya!

Oleh karena itu, untuk menghindari pertengkaran yang tak berguna, ia memutuskan untuk tidak ‘memaksa’ saya pergi, melainkan menitipkan kue-kue sus tersebut kepada temannya, seorang ibu yang bertempat tinggal tidak jauh dari rumah kami.

“Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita -- oleh kasih karunia kamu diselamatkan --” (Efesus 2:4-5)

* Sekarang Viona Likumahua dikenal di kalangan kristiani di Indonesia sebagai Viona Paays

(Bersambung)

SEMUANYA ADALAH KASIH KARUNIA (5)
Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN KEDUA: GARA-GARA KUE SUS

Friday, May 1, 2009

Semuanya adalah Kasih Karunia (3)


Kesaksian John Adisubrata

THE TRUE WORSHIPPERS: VOICE OF A GENERATION

“Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain.” (Efesus 2:3)

Menjelang akhir bulan Maret 1997, sebuah rombongan yang dipimpin oleh Ev Jeffrey Rachmat datang dari Indonesia untuk melayani beberapa gereja kota-kota besar di Australia. Di samping Sydney dan Perth, kota Brisbane termasuk di dalam daftar perjalanan rombongan tersebut, yang terdiri dari dua grup artis pemusik yang dikenal di kalangan umat kristiani di Indonesia sebagai VOG (Voice of Galilee)* dan The True Worshippers. Mereka datang untuk mengadakan konser-konser musik rohani berkaitan dengan beberapa Revival Meetings (Kebaktian-Kebaktian Kebangunan Rohani) yang diadakan oleh gereja-gereja setempat.

Khususnya di kota kami, mereka datang untuk memberikan sebuah konser pada hari Sabtu malam, tanggal 29 Maret 1997. Besok siangnya, tanggal 30 Maret, mereka juga ikut mengambil bagian melayani ibadah gereja yang pada hari Minggu itu diselenggarakan secara khusus, karena gereja Indonesia yang pertama ada di kota Brisbane tersebut merayakan hari ulang tahun mereka yang keenam!

Melalui persekutuan wanita di bawah naungan gereja itu, isteri saya mendapat tawaran untuk membeli tiket konser. Semenjak beberapa minggu sebelumnya ia terlibat sebagai salah satu anggota yang ikut menghadiri acara-acara persekutuan mereka yang diadakan setiap hari Rabu pagi di rumah para anggotanya secara bergilir. Terus terang saja, saya kurang menyetujui keterlibatannya di sana! Karena memang sudah lama saya mendengar ‘keanehan’ tingkah laku para anggota gereja itu, terutama pendetanya, yang bisa dikategorikan sebagai orang-orang ‘fanatik’ yang amat menjengkelkan! Tetapi oleh karena setiap acara persekutuan mereka diadakan pada saat saya tidak berada di rumah, saya memilih untuk mengacuhkannya saja.

Sekalipun saya pernah mendengar istilah Revival Meeting, atau KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani), secara sambil lalu saja, pengertian saya mengenai arti dan tujuan pertemuan-pertemuan seperti itu sangat terbatas, bahkan salah kaprah sekali. Oleh karena itu ketika istri saya menyarankan kami bertiga untuk pergi menghadirinya, saya segera menolak usulnya dengan tegas! Berbagai alasan saya kemukakan kepadanya. Selain mengungkit-ungkit ketidak-setujuan saya akan keterlibatannya dengan persekutuan para wanita ‘aneh’ dari gereja Indonesia yang tidak saya sukai itu, saya juga menyatakan ketidak-simpatisan saya akan lagu-lagu rohani, yang menurut pendapat saya adalah genre musik berirama kuno yang kurang menarik dan membosankan.

Sampai kurang-lebih seminggu sebelum penampilannya, saya tetap bersikeras menolak untuk pergi ke konser tersebut.

Tetapi … tiba-tiba, suatu hal yang cukup mengherankan terjadi, yang pada waktu itu seolah-olah tidak mempunyai arti apa-apa bagi saya, karena tampak lumrah sekali. Di tengah-tengah ‘perdebatan panas’ yang sedang bergejolak di dalam hati nurani saya, antara penolakan tegas dan usaha untuk memahami keinginan istri, saya mendengar dengan jelas teguran lembut sebuah suara yang berusaha melunakkan pendirian saya. Berulang-ulang kali ia menganjurkan kepada saya sebuah saran yang terdengar cukup logis: “Dari pada engkau tinggal di rumah sendirian di malam Minggu, ikutlah pergi dengan mereka ke konser itu. Apa ruginya …?”

Jelas sekali suara itu berhasil meredakan gejolak di dalam hati saya, yang pada waktu itu masih terus ingin membangkang, ... berusaha untuk tetap menolak ajakan istri saya. Tetapi setelah menimbang-nimbang beberapa saat lamanya, akhirnya saya bisa ‘melihat’ kebenaran anjuran tersebut: “Benar juga, … jika aku ikut pergi, aku khan ‘nggak bakalan rugi.”

Sampai sekarang masih terdengar dengan jelas di dalam ingatan saya anjuran yang pada waktu itu sumbernya tidak mempunyai arti sama sekali. Karena saya menduga, itu berasal dari suara-suara hati nurani saya sendiri. Baru setelah kejadian ajaib yang akan saya ceriterakan di dalam kesaksian ini terjadi dan berlalu, ... mengingatnya kilas balik, saya menyadari SIAPAKAH yang sebenarnya ikut terlibat di dalam menengahi ‘perdebatan panas’ yang berlangsung di dalam hati nurani saya tersebut.

Kendatipun masih disertai oleh rasa kurang senang, ... sambil tak henti-hentinya menggerutu di dalam hati, akhirnya saya menyetujuinya.

Untuk ibadah gereja di hari Minggu tanggal 30 Maret keesokan harinya, berkesinambungan dengan acara perayaan hari jadi mereka yang keenam, istri saya ditugaskan untuk membuat 100 biji kue sus. Oleh karena itu hari Sabtu siangnya, di tengah-tengah kesibukan rutin akhir pekan yang harus dilalui oleh setiap keluarga di Australia, ia mulai mempersiapkan pembuatan vla, isi kue susnya. Bahkan saya ditugasi untuk membantu mengolahnya di atas kompor.

Kesibukan-kesibukan itu membuat kami sekeluarga hampir terlambat untuk berangkat ke Brisbane City Hall, di mana konser tersebut diselenggarakan. Tergesa-gesa, dengan persiapan yang sangat acak-acakan, saya mengantarkan mereka ke sana tanpa mengharapkan apa-apa, selain untuk bisa melewati malam itu secepatnya.

Sikap saya yang amat ‘negatif’ sore itu, masih tetap terpancar ketika kami memasuki ruang konser di mana para pemusiknya sedang sibuk mempersiapkan sound system mereka di atas panggung. Nama kedua grup tersebut tidak pernah saya dengar sebelumnya, lagi pula malam itu … terus terang saja, oleh karena kejengkelan hati saya, saya tidak mempunyai keinginan sama sekali untuk mengenal mereka!

Saya sebenarnya adalah penggemar musik populer, yang selalu mengikuti setiap perkembangan terakhir yang terjadi di dunia musik internasional, terutama rock dan pop. Musik adalah salah satu passion saya yang terbesar! Selain gemar bermain gitar, sendirian atau bersama sahabat-sahabat yang seminat, meskipun hanya secara amatiran saja, saya juga senang mengumpulkan piringan-piringan hitam, kaset-kaset atau CDs dari artis-artis sekuler yang termasyhur di dunia. Koleksi saya cukup lengkap, beraneka ragam musik dari pelbagai-macam era, dari yang klasik sampai era yang terbaru. Itulah hobby saya yang terbesar semenjak dahulu. Tetapi, di antara koleksi itu ada satu jenis musik yang belum pernah termasuk di dalamnya: … lagu-lagu rohani!

Semenjak berkeluarga, saya tidak pernah merasa tertarik untuk memasang kaset-kaset rohani milik istri saya. Sering kali saya mengomentarinya dengan sinis sekali, kala memergoki dia sedang mendengarkan lagu-lagu tersebut. Selain mencap musik kristiani ‘boring’, saya juga menganggapnya sebagai musik yang ketinggalan zaman, kurang kreatif, bahkan kadang-kadang terdengar agak … kampungan!

Tapi itu pendapat saya ... dulu, sebelum bertemu dengan Tuhan Yesus Kristus secara pribadi!

“Kamu juga, meskipun dahulu mati oleh pelanggaranmu dan oleh karena tidak disunat secara lahiriah, telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, …” (Kolose 2:13)

* VOG juga pernah dikenal di kalangan kristiani di Indonesia sebagai Voice of Generation

(Bersambung)

SEMUANYA ADALAH KASIH KARUNIA (4)
Kesaksian John Adisubrata

KEAJAIBAN PERTAMA: SENTUHAN DARI SURGA