Friday, October 9, 2009

Tetapi ... Engkau Tidak!


Oleh: John Adisubrata

Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak. (Amsal 25:11)

Beberapa hal yang bisa terjadi di sekitar kita mempunyai kuasa sebesar setiap perkataan yang kita ucapkan tepat pada waktunya. Di lain pihak, kata-kata yang tidak diutarakan pada setiap kesempatan itu, jika waktunya telah berlalu, akan membuat kita menyesalinya seumur hidup. Keharmonisan hidup pasangan-pasangan suami istri sering kali menjadi berkurang, oleh karena mereka tidak menerapkan saran yang amat penting ini.

Di dalam hidup berumah-tangga umat Tuhan dianjurkan untuk selalu saling mengalah, saling menghormati, saling menghargai, dan terutama mengasihi pasangan-pasangan hidup mereka, seperti yang diperintahkan oleh-Nya di Kolose 3:19, 1 Petrus 3:1,7 dan di Titus 2:4,5. Tetapi keangkuhan sikap manusia sering kali menyebabkan mereka menolak untuk melaksanakannya. Sikap yang tidak mau mengalah, tidak mau kelihatan lemah, … mempengaruhi mereka untuk mengabaikan setiap tindakan ‘bijak’ yang patut dipuji, yang sudah dilakukan oleh pasangan-pasangan mereka.

Sahabat kami yang sering kali dengan suaminya saling menjatuhkan nama baik sendiri di depan umum melalui lontaran-lontaran komentar yang sinis, berpendapat, bahwa jika ia membenarkan nasehat suaminya yang pada awalnya tidak ia setujui, akan membuat ‘kepalanya menjadi besar’. Padahal di luar pengetahuan suaminya, ia mengakui dengan terus terang kepada kami setelah melihat hasilnya, bahwa saran tersebut ternyata betul sekali dan lebih menguntungkan ekonomi keluarganya. Kejadian seperti itu sering kali terulang, di mana secara bergantian, tanpa mau mengalah, mereka berusaha untuk saling mempermalukan di depan orang-orang. Saling menyindir menggunakan kata-kata yang pedas, mulai dari paras, bentuk tubuh, sampai karakter dan kelakuan masing-masing. Bahkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu diketahui oleh umum, menjadi terbongkar gara-gara itu.

Seandainya saja mereka saling mengindahkan, saling menghargai pendapat, dan terutama saling mengasihi, … jika perlu saling memuji di setiap kesempatan yang ada, saya jamin, perang dingin yang sudah lama mencuri damai sejahtera kehidupan rumah tangga mereka pasti berakhir! Karena … di suatu ketika, jika saat mereka tiba untuk berpisah selama-lamanya, saya yakin, yang ditinggal mati akan menyesali tindakan-tindakannya yang keliru tersebut. Seperti ungkapan sebuah pepatah: Nasi sudah menjadi bubur, … ia juga sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahannya!

Raja Salomo memberi nasehat: Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya!” (Amsal 15:23) Sebelumnya, di bagian kitab yang sama, ia menulis: “Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia.” (Amsal 12:25) Selain itu nabi Yesaya juga menganjurkan, agar kita mempunyai lidah seorang murid, supaya dengan perkataan kita dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. (Yesaya 50:4)

Saya pernah membaca catatan singkat sangat mengharukan yang diambil dari buku harian seorang wanita. Ungkapan hatinya dalam bentuk sebuah surat yang ditujukan secara pribadi kepada suaminya, dibacakan olehnya sendiri pada suatu upacara yang amat penting:

Aku teringat ketika aku mengendarai mobilmu yang masih baru, yang oleh karena keteledoranku telah hancur di jalan raya. Aku mengira engkau akan menunjukkan wajah geram tidak percaya, dan menyumpahi diriku. Tetapi … engkau tidak!

Aku teringat ketika aku memaksamu untuk pergi bersamaku ke pantai. Engkau menolak, karena engkau tahu hari itu hujan deras akan turun. Akhirnya kita pergi, dan ternyata engkau benar! Aku merasa begitu yakin, bahwa engkau tidak akan berdiam diri dan akan menegur aku dengan keras: “Apa kataku!” Tetapi … engkau tidak!

Pernah sekali aku menumpahkan segelas blueberry juice di atas jas putihmu yang masih baru. Aku tahu engkau marah dan menyalahkan tingkah-lakuku yang keterlaluan. Tetapi … engkau tidak!

Masih ingatkah engkau pada saat kita pergi ke pesta reuni sekolah kita malam itu? Aku keliru ketika menganjurkan agar engkau berpakaian casual saja. Engkau hadir hanya mengenakan celana jeans dan baju T Shirt biasa, yang membuat engkau menjadi salah tingkah sekali! Aku tahu engkau merasa tidak senang dan ingin lari ke luar seketika itu juga untuk meninggalkan aku seorang diri di sana. Tetapi … engkau tidak!

Aku berhasrat untuk mengutarakan isi hatiku kepadamu, bagaimana aku mencintaimu dan … menghargai semua yang telah engkau lakukan itu, jika engkau tiba kembali dari tugas militermu di Afghanistan. Tetapi … engkau tidak!

Raja Salomo pernah berkata: Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1) Ia meneruskannya di pasal yang sama: “… ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; …” (Pengkhotbah 3:7b)

Memang benar, segala sesuatu ada waktunya. Tetapi kenyataan lain yang juga harus diketahui: Masa-masa itu ada batasnya! Apabila telah berlalu, kesempatan yang ada tersebut juga akan hilang untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, janganlah sampai kita melewatkan waktu kelak dengan menyesalinya seumur hidup, sebab kita sudah memendam di dalam hati kita kata-kata tak terucapkan, yang seharusnya didengarkan oleh orang-orang yang pada waktu itu sangat membutuhkannya.

Janganlah sekali-kali mengabaikan arti ayat ini: Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang.” (Amsal 16:24)

Oleh karena itu, … menunggu apa lagi, katakanlah sekarang juga kepada pasangan, anak-anak, keluarga, bahkan sahabat-sahabat anda, kata-kata yang memang sudah menjadi hak mereka dari semula! Janganlah menunggu sampai Tuhan harus menegur anda dengan keras: “Umat yang Kupilih bersedia merendahkan diri dan melakukannya, TETAPI … ENGKAU TIDAK!

John Adisubrata
October 2009