Oleh: John Adisubrata
SIAPAKAH AKU INI, TUHAN?
‘Tetapi Musa berkata kepada Allah: “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?” (Keluaran 3:11)
Pertanyaan Musa: “Siapakah aku ini?” ketika ia diperintahkan oleh TUHAN untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir tampaknya adalah kalimat pertanyaan yang paling sering diajukan oleh orang-orang pada saat mereka dipanggil oleh-Nya. Saya yakin, setiap orang ketika mengalaminya, akan memberikan reaksi yang sama untuk mempertanyakan kemampuan mereka terlebih dahulu.
Lebih dari 10 tahun yang lalu saya mengalaminya. Persis seperti Musa, seketika itu juga saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Dia: “Mengapa aku, Tuhan?” Itulah reaksi saya yang pertama. Saya akui, pada saat itu saya merasa bingung sekali. Selain belum mengerti maksud dan tujuannya, saya juga mencoba mencari berbagai macam cara dan alasan-alasan untuk menghindarinya. Saya tidak menyadari, bahwa pertanyaan itu sebenarnya adalah sebuah ‘default question’ yang dilakukan oleh hampir setiap orang. Karena ... terus terang saja, setelah cukup lama mempertimbangkannya secara seksama, saya tidak bisa melihat keuntungan Tuhan memanggil diri saya.
Bagaikan Musa, dengan halus saya berusaha untuk menolak tugas yang diberikan oleh-Nya. Padahal hanya tugas yang sederhana saja, bukan tugas monumental. Seperti beban yang umumnya diberikan kepada orang-orang lain yang baru diselamatkan, yaitu untuk menjadi saksi mengenai kasih karunia-Nya kepada umat yang masih belum mengenal Dia. Kelihatannya memang sangat kecil dan tidak berarti jika dibandingkan dengan tugas raksasa yang Ia bebankan kepada Musa.
Kitab Keluaran mencatat keluhan Musa: ‘Lalu kata Musa kepada TUHAN: “Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulupun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mupun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah.” (Keluaran 4:10) Saya bisa memahami sekali keluhannya itu. Siapakah yang tidak merasa gentar kala menerima tugas untuk memimpin berjuta-juta umat yang bertengkuk tegar, untuk pergi meninggalkan negara bengis yang sudah memperbudak mereka selama beratus-ratus tahun? Bahkan saya menyetujui keberaniannya ketika ia menolak dengan halus: “Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus.” (Keluaran 14:13)
Kendatipun sebelumnya saya tidak pernah mempelajari isi Alkitab, bahkan tidak pernah menyadari reaksi-reaksi Musa, Yeremia, Yesaya atau Petrus ketika mereka dipanggil oleh Tuhan, yang amat menakjubkan, reaksi yang saya berikan kepada-Nya ternyata serupa sekali. Saya teringat perkataan nabi Yeremia: ‘Maka aku menjawab: “Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda.” (Yeremia 1:6) Saya tahu, ketika itu saya bukan seorang anak muda lagi, tetapi kurang-lebih alasan itulah yang saya pergunakan.
Seperti mereka, saya termasuk golongan orang-orang yang ‘introvert’, pemalu, bahkan boleh dikatakan … cukup pendiam! Oleh karena itu, seperti ayah saya, jarang sekali saya mau berkata-kata, jika saya tahu hal itu tidak perlu saya lakukan. Saya juga bukan seorang yang selalu haus akan kedudukan, seorang yang sibuk menjalin hubungan dengan orang-orang penting di tempat-tempat ‘maha tinggi’, seorang yang selalu ingin dilihat bergaul dengan para konglomerat, atau orang-orang terpandang lainnya. Justru kebalikannya! Saya merasa jauh lebih sejahtera bergaul dengan orang-orang biasa, orang-orang yang sederhana, orang-orang yang tidak memandang muka atau kedudukan orang lain.
Kenyataan-kenyataan tersebut membuat saya menjadi semakin bingung: “Tuhan, apakah Engkau tidak keliru?” Bukankah di tempat-tempat ibadah, mereka yang mempunyai kedudukan-kedudukan tinggi di dalam masyarakat, kekayaan yang berlebih-lebihan, koneksi-koneksi yang bisa menguntungkan gereja atau para pengurusnya, … merekalah yang selalu diperhatikan dan dipromosikan? Bukankah oleh karena itu pengaruh-pengaruh mereka di antara para jemaat gereja, dan juga masyarakat umum di sekitar mereka, amat besar?
Sedangkan saya? Siapakah yang bisa saya pengaruhi? Saya hanya seorang biasa yang mempunyai bakat-bakat dan pendidikan yang sedang-sedang saja. Segala sesuatu yang saya duga saya ‘miliki’, … tidak ada yang menonjol, tidak ada keistimewaannya!
Bakat saya di bidang kesenian musik biasa-biasa saja. Bermain gitar juga ala kadarnya, selama saya bisa mengiringi puji-pujian di persekutuan-persekutuan doa atau cell group kami. Jelas saya bukan tandingan Carlos Santana atau Jimi Hendrix. Padahal ingin sekali saya bisa memanipulasi senar-senar gitar seperti rekan-rekan seiman di gereja kami yang begitu mahir dan cekatan sekali menggunakan jari-jari tangan mereka kala bermain musik, mengiringi acara-acara puji dan sembah di hari Minggu. Saya juga mempunyai hasrat terpendam yang amat besar untuk pada suatu saat bisa menggubah lagu-lagu rohani yang unik untuk Tuhan, seperti Reuben Morgan, Marty Sampson, Matt Redman, Jonathan Prawira atau Robert Sutanto. Tapi, meskipun saya terus berusaha, saya tetap tidak bisa meraih taraf-taraf kemampuan mereka. Karena kenyataannya, … bakat bermain musik yang saya miliki memang terbatas sekali!
Begitu juga di bidang seni rupa. Menggunakan bakat-bakat artistik yang Tuhan karuniakan kepada saya, ingin sekali saya bisa menciptakan karakter-karakter kartun yang khas seperti Peanuts, Mickey Mouse, Bugs Bunny, atau karakter-karakter Anime Jepang. Di sinipun saya menyadari, bahwa bakat yang saya miliki tidak setinggi bakat-bakat para pencipta mereka: Charles Schulz, Walt Disney, Tex Avery, atau Hayao Miyazaki! Bahkan ketrampilan para pengarang buku-buku komik kawakan Indonesia yang berbakat luar biasa, seperti R A Kosasih, Taguan Hardjo atau Jan Mintaraga, tidak akan pernah bisa saya capai. Karena saya tahu, tingkat kemampuan mereka di bidang ini pun berada jauh di atas tingkat kemampuan saya!
Saya berhasrat untuk menjadi seorang arsitek yang bisa berhasil merancang sebuah landmark atau bangunan, … hanya satu saja, yang akan selalu dikenal dan dikenang oleh masyarakat setempat, bahkan oleh masyarakat dunia. Tetapi sekali lagi saya harus menyadari, bahwa saya bukan Ludwig Mies van der Rohe, Le Corbusier, Fumihiko Maki, Jorn Utzon, atau bekas professor saya sendiri: Gottfried Boehm. Arsitek-arsitek termasyhur ini jelas bukan tandingan-tandingan saya!
Bakat saya di bidang menulis buku, cerpen, kisah-kisah sejati maupun fiksi, juga hanya ‘mediocre’ saja. Di sinipun saya tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Ingin sekali saya menulis kisah-kisah menarik untuk anak-anak kecil berdasarkan ayat-ayat firman Tuhan seperti Max Lucado, atau menjadi penulis buku-buku bestsellers yang berbobot, seperti Philip Yancey, Tommy Tenney atau Rick Warren. Tetapi ternyata seperti bakat-bakat lainnya yang sudah saya singgung sebelumnya, … di bidang inipun kemahiran saya sangat terbatas!
Mempertimbangkan semua itu sekali lagi, saya menjadi semakin bertanya-tanya: “Siapakah aku ini, Tuhan, sehingga Engkau mau memanggil dan memakai diriku? Aku tidak pandai bicara. Aku tidak mempunyai bakat-bakat yang cukup atau pendidikan yang istimewa, yang berguna bagi kebesaran kerajaan-Mu! Selain itu, hati dan pikiranku masih sering diliputi oleh hal-hal yang kotor dan tidak kudus. Aku sering kecewa, tidak puas, pahit, dendam dan hal-hal lain yang membuat diriku merasa amat tidak layak untuk mengerjakan tugas yang Kauberikan kepadaku ini. Lagi pula … aku adalah seorang laki-laki yang sama sekali tidak bisa membanggakan masa lalunya. Apakah Engkau tidak keliru?”
Teringatlah saya akan pernyataan nabi Yesaya ketika ia dipanggil oleh Tuhan: ‘Lalu kataku: “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.” (Yesaya 6:5)
(Bersambung)
SOMETHING BEAUTIFUL (2)
MENGAPA MEREKA, TUHAN?