Saturday, January 16, 2010

Mendengar Suara Tuhan (1)


Oleh: John Adisubrata

ROH KUDUS BERSABDA

“…, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2 Petrus 1:21)

Lebih dari 10 tahun yang lalu teman kami yang masih muda belia, Sharon, datang memohon pendapat kami. Ia mengeluh, karena pendeta muda di gerejanya baru saja mengutarakan isi hati kepadanya. Tanpa tedeng aling-aling ia berkata, bahwa Roh Kudus sudah ‘bersabda’ (memberi ilham) kepadanya, bahwa ia adalah jodoh Sharon. Tentu saja itu bukan suatu hal yang langka, di mana seorang pria, siapa pun juga orangnya, menemui gadis yang ditaksir olehnya, lalu memberanikan diri untuk memprakarsai jalinan ‘hubungan cinta’ yang ia harapkan bisa terjadi sesuai perasaan hatinya. Tetapi yang berbeda dengan biasanya adalah keberanian pendeta muda itu untuk mengatakan, bahwa Sharon adalah calon isterinya yang sudah ditentukan oleh Tuhan.

Penyebab kedatangannya untuk memohon pendapat kami adalah karena Sharon hanya menganggap dia sebagai seorang teman sebaya biasa saja, sebagai salah seorang pendeta muda di gereja yang harus dihormati oleh jemaat. Ia berterus terang, bahwa sama sekali ia tidak mempunyai perasaan apa-apa untuknya. Kasarannya, jejaka itu bukan tipenya! Bahkan dengan jujur sekali Sharon juga berkata, bahwa ia sebenarnya kurang menyukai pribadinya, kendatipun dia adalah pendeta muda gerejanya. Sehingga ketika mereka berhadapan muka, Sharon tidak tahu reaksi apa yang harus ia berikan, apalagi saat mendengar pernyataannya, bahwa Roh Kudus-lah yang sudah menentukan mereka sebagai pasangan hidup.

Tanpa ingin meragukan kebenaran pernyataan jejaka itu, saya harus mengakui, bahwa secara pribadi saya juga pernah mendengar orang-orang percaya di sekitar kami melakukan hal-hal yang serupa. Kebanyakan mereka memakai nama Tuhan sebagai alasan untuk mencapai suatu tujuan, baik untuk kepentingan tubuh Kristus maupun kepentingan diri sendiri! Dengan penuh keyakinan, terkadang … penuh keberanian, mereka menyatakan segala sesuatu yang ada di dalam pikiran mereka kepada orang lain, seolah-olah semua itu murni berasal dari Roh Kudus. Kadang-kadang untuk menghibur atau menguatkan iman sesama, tetapi di lain kesempatan dipergunakan untuk menasehati atau menegur sikap hidup umat Tuhan yang lain.

Awal tahun 2000-an, ketika kami masih berusaha untuk menemukan sebuah cellgroup gereja di dekat rumah, di mana kami bisa menggabungkan diri dan juga melayani di sana, saya berkenalan dengan Scott, seorang single father (duda cerai beranak satu) yang masih muda, yang baru saja beberapa bulan sebelumnya lahir baru. Berapi-api penuh dengan semangat ia berkata, bahwa ia dikaruniai oleh Tuhan anugerah untuk bernubuat.

Malam pertama saya bertemu dengannya, saya perhatikan, diam-diam ia mengamat-amati setiap orang dari tempat duduknya, terutama para pendatang baru … termasuk saya. Kemudian saat beramah-tamah ia datang menghampiri, dan menyatakan kepada kami secara bergilir apa yang saat itu ada di dalam pikirannya tentang kami di depan semua orang. Yang paling menguatirkan adalah keberaniannya untuk meyakinkan kami, bahwa semua yang dikatakan olehnya itu adalah wahyu Roh Kudus. Padahal tidak semuanya bersifat positif, yang bisa membangun iman kami! Bahkan ada yang bersifat agak kurang etis, yang seharusnya disampaikan secara pribadi saja, karena bisa membuat orang-orang yang bersangkutan merasa dipermalukan olehnya di depan umum. Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Korintus: Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat.” (1 Korintus 14:4) Jelas sekali di sini ia sudah mengabaikan arti firman tersebut!

Saya perhatikan, segala sesuatu yang dikatakan olehnya mengenai kami, yang menurut dia adalah ‘nubuatan’, tidak lebih tidak kurang adalah penganalisaan tabiat atau hidup kami secara perseorangan sesuai yang ‘diasumsikan’ olehnya. Seolah-olah ia ‘membaca’ garis-garis raut muka kami, dan juga tingkah laku kami pada malam itu, lalu dengan yakin sekali ‘meramal’ kehidupan kami sesuai dugaan hati atau … pikirannya sendiri. Dan oleh karena ia adalah seorang kristiani yang sudah lahir baru, ia berkesimpulan: Semua itu pasti berasal … dari Roh Kudus!

Sering kali saya mendengar kesaksian-kesaksian mengenai kejadian-kejadian seperti itu, karena orang-orang percaya seperti Scott menganggap Roma 12:6 adalah sebuah ayat yang sudah meresmikan ‘iman’ mereka, bahwa bernubuat adalah karunia yang Tuhan anugerahkan khusus kepada mereka: “Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita.”

Jauh sebelum saya lahir baru, saya mengenal seorang penginjil Indonesia dari kota Brisbane, Australia, yang secara pribadi memberi kesaksian, bahwa ketika ia baru saja mendarat di bandara kota Beijing, Cina, Roh Kudus memerintahkannya untuk segera berbahasa roh di depan para petugas imigrasi, dengan tujuan untuk menyelundupkan buku-buku alkitab sekoper penuh ke negara komunis tersebut. Terus terang saja, pada waktu itu ‘Roh Kudus’ atau ‘berbahasa roh’ tidak mempunyai arti apa-apa bagi saya!

Peristiwa itu dialami olehnya tepat pada saat terjadinya protes termasyhur di Tiananmen Square bulan Juni 1989 di mana banyak sekali mahasiswa-mahasiswa lokal mengalami penganiayaan dan pembantaian. Hal yang sama ia lakukan dengan iman tidak lama kemudian, pada saat membagi-bagikan alkitab yang baru saja diselundupkan olehnya kepada para pemrotes di tengah-tengah lapangan itu, di antara desingan-desingan peluru yang menyebabkan banyak sekali korban-korban yang mati tergeletak di kanan dan di kirinya. Menurut dia, ketaatannya kepada Roh Kudus untuk berbahasa roh seketika itu juga, menyebabkan ia terlindung dari sasaran tembakan peluru-peluru tersebut.

Belum lama ini saya mendengar kesaksian seorang saudara seiman yang berkata, bahwa ketika ia dalam keadaan mendesak lupa akan nama orang-orang yang sangat diperlukan olehnya, Roh Kudus membisikkan nama-nama itu kepadanya. Seorang lain menceriterakan, bahwa ketika ia berusaha menemukan sahabatnya yang melarikan diri, karena tidak mau membayar hutang kepadanya, Roh Kudus menunjukkan tempat di mana ia berada, sehingga ia bisa menjumpainya, menagih dan mendapatkan uangnya kembali. Saudara seiman yang lain lagi juga bersaksi, bahwa ketika ia berusaha menjual rumahnya, saat berdoa Roh Kudus memberitahukan secara spesifik sekali harga penjualan yang harus ditentukan olehnya.

Saya yakin, pernyataan-pernyataan dan kesaksian-kesaksian seperti itu mempunyai tujuan yang sama. Semuanya ingin membuktikan untuk menguatkan iman para pendengarnya, bahwa … jika kita sebagai orang-orang percaya meminta pertolongan Tuhan dengan sepenuh hati, Roh Kudus akan selalu membantu dan membuka jalan bagi kita untuk menyelesaikannya.

Tetapi, … apakah kesimpulan seperti itu selalu benar dan alkitabiah? Apakah semua ‘suara’ yang kita dengar selalu berasal dari Roh Kudus? Bagaimana kita bisa membedakan suara yang ada di dalam hati dengan suara-suara yang sedang menguasai pikiran-pikiran kita? Di manakah letak batas-batas yang menentukan perbedaannya?

Menanggapi pertanyaan-pertanyaan para ahli Taurat mengenai hubungan raja Daud dengan-Nya, Yesus mencuplik dari kitab Mazmur, nubuatan yang ditulis oleh Daud sendiri di bawah pimpinan Roh Kudus beratus-ratus tahun sebelumnya, mengenai penobatan Yesus sebagai Raja Imam untuk selama-lamanya, menurut imam Melkisedek (Mazmur 110:1): Daud sendiri oleh pimpinan Roh Kudus berkata: Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai musuh-musuh-Mu Kutaruh di bawah kaki-Mu.” (Markus 12:36)

(Bersambung)

MENDENGAR SUARA TUHAN (2)

PENGLIHATAN, MIMPI DAN ILHAM

No comments: