Kesaksian Ian McCormack
Oleh: John Adisubrata
PULANG KE MANA?
“ … dan orang-orang yang dibebaskan TUHAN akan pulang dan masuk ke Sion dengan bersorak-sorai, sedang sukacita abadi meliputi mereka; kegirangan dan sukacita akan memenuhi mereka, kedukaan dan keluh kesah akan menjauh.” (Yesaya 35:10)
Ketika saya masih asyik memikirkannya, tiba-tiba saya mendengar suara seorang laki-laki dari tengah-tengah kedahsyatan sumber cahaya tersebut, … suara lembut yang sudah beberapa kali secara ajaib sekali berbicara kepada saya sepanjang malam itu untuk memperingati, menantang, menasehati, bahkan membimbing saya.
Ia bertanya: “Ian, apakah engkau ingin pulang kembali?”
“Dia mengenal namaku?” Saya tersentak kaget: “Bukankah suara laki-laki ini yang kudengar di pantai Tamarin Bay, ketika aku hampir saja tertidur di tepi jalan? Bukankah Ia yang menganjurkan, agar aku mengemis belas kasihan dan pertolongan ketiga pengemudi taksi di dalam pekarangan pompa bensin Caltex? Bukankah Ia juga yang memperingati diriku, agar aku tidak menjadi terlampau marah kepada laki-laki muda pemilik Hotel Tamarin Bay oleh karena penolakannya untuk memberikan pertolongan kepadaku?”
Termangu-mangu saya memikirkan pertanyaan-Nya: “Pulang, … pulang kembali? Aku harus pulang ke mana? Di manakah aku berada saat ini?”
Oleh karena kebingungan, saya menoleh ke belakang untuk memastikan, bahwa saya benar-benar datang dari suatu tempat yang lain. Saya melihat terowongan amat panjang yang dipenuhi oleh cahaya-cahaya indah gemerlapan di belakang saya. Sedangkan jauh sekali di bawahnya tampaklah tempat kelam menakutkan yang baru saja saya tinggalkan.
“Terowongan sinar, ... kegelapan amat pekat, ... ranjang rumah sakit, ... tubuh jasmaniku?” Hati saya mulai merasa bimbang lagi serta mempertanyakan kemungkinan-kemungkinannya: “Apakah aku sudah mati? Mungkinkah aku sudah meninggalkan tubuhku, dan ... terdampar di dalam tempat gelap gulita itu, lalu melalui terowongan sinar tersebut akhirnya aku tiba di sini? Apakah semua ini benar-benar terjadi?”
“Atau, … apakah aku hanya pingsan saja? Mungkin sekali saat ini aku sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit dan mengkhayalkan penglihatan-penglihatan ini? Jadi, ... apakah aku sebenarnya masih hidup, dan sedang menyaksikan sebuah visi saja?”
Kendatipun hati saya masih terus merasa ragu-ragu, saya harus mengakui, bahwa kenyataan yang saya lihat di sana bukan merupakan sesuatu hal yang patut dipertanyakan lagi.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengajukan sebuah pertanyaan kepada-Nya: “Terus terang saja, aku merasa bingung sekali. Jika aku sudah tidak berada di dalam tubuhku lagi, dan sekarang Engkau menghendaki aku pulang kembali, aku ingin mengetahuinya terlebih dahulu, ... saat ini aku berada di mana?”
Pertanyaan saya tidak dijawab, tetapi ditanggapi oleh-Nya dengan sebuah pernyataan yang lain: “Ian, jika engkau ingin pulang kembali, engkau harus melihat segala-galanya melalui terang sinar pandangan mata yang baru.”
“Aku harus melihat segala-galanya melalui terang sinar pandangan mata yang baru?” Saya tersentak: “Itulah jawabannya, … SINAR, … sinar itu TERANG!”
Memberanikan diri saya bertanya: “Apakah Engkau Terang itu?”
Tiba-tiba tampil di depan mata saya sebuah barisan kata-kata yang membentuk sebuah kalimat pendek yang berbunyi: “Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan – 1 Yohanes 1:5”
Kalimat itu mengingatkan saya akan sebuah kartu Natal yang saya terima beberapa tahun yang lalu, di mana ayat pendek tersebut tercantum kecil tak berarti di ujung sebelah bawahnya. Ketika saya membacanya sepintas lalu saja, kalimat itu tidak pernah menarik perhatian saya.
Tetapi yang amat mengherankan, … ayat tersebut ternyata bisa timbul kembali di dalam ingatan saya pada saat-saat yang tidak tersangka-sangka seperti itu. Saya tahu sekarang, bahwa semenjak saya membacanya untuk pertama kali, ayat tersebut tidak pernah meninggalkan diri saya lagi!
“Allah adalah Terang! Di dalam Dia tidak ada kegelapan! Aku baru saja datang dari tempat yang amat gelap, tetapi sumber cahaya ini benar-benar terpisah total dari kegelapan itu! Tidak ada sedikitpun bayang-bayang yang terlihat atau terbentuk pada diri-Nya! Keseluruhan pribadi-Nya tampak putih bersih, jernih dan murni sekali!”
“Apakah mungkin Allah yang berdiri di tengah-tengahnya?” Saya berargumentasi sendiri: “Oh, tentu saja, ... bukankah Ia mengetahui namaku, bahkan ... mengenal diriku! Segala yang ada di dalam benak pikiranku diketahui oleh-Nya, seakan-akan bagi Dia diriku transparan sekali. Tidak ada yang bisa kusembunyikan dari hadapan-Nya! Jadi, ... berarti, ... aku benar-benar sedang berada di dalam hadirat Allah semesta alam!”
Saya menjadi gelisah sekali: “Jika Ia bisa mengetahui segala-galanya, tentu Ia juga mengetahui semua dosa-dosaku.”
Saya merasa tidak layak sekali untuk berdiri di sana, karena hadirat-Nya membuat saya menjadi semakin sadar akan kejahatan-kejahatan yang pernah saya kerjakan.
Saya berpikir: “Suatu kekeliruan telah terjadi di sini. Ia sudah menjemput seseorang yang tidak seharusnya diselamatkan! Karena jelas sekali, aku tidak berhak untuk menerima ‘kehormatan’ sebesar ini! Aku tidak layak untuk berdiri di hadapan Allah yang maha suci seperti Dia! Oh, … lebih baik aku mengundurkan diri saja, bersembunyi, … atau kembali ke tempat gelap mengerikan, di mana seyogianya aku berada?”
Keresahan hati tersebut mendorong diri saya untuk pergi mencari tempat persembunyian yang terdekat. Perlahan-lahan saya melangkah mundur mendekati ‘mulut’ terowongan sinar di belakang saya, mendekap di bawah sambil berusaha untuk menemukan suatu tempat persembunyian di mana saya bisa menyelinap di belakang atau di bawahnya.
(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)
SEKILAS DARI KEABADIAN (24)
Kesaksian Ian McCormack
ALLAH ADALAH KASIH
No comments:
Post a Comment