Kesaksian John Adisubrata
KEAJAIBAN PERTAMA: SENTUHAN DARI SURGA
“..., dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” (Yohanes 12:32)
Di luar dugaan saya, pada waktu konser itu dimulai, saya harus mengakui, bahwa mereka sudah berhasil memberikan suatu kejutan positif kepada saya. Ternyata taraf-taraf musik yang mereka sajikan di sana bagus dan profesional sekali. Kendatipun lagu-lagu yang mereka bawakan masih terdengar asing di telinga saya, semuanya itu disajikan dengan nada-nada dan irama-irama modern yang menarik, yang sesuai sekali dengan selera saya. Di atas panggung secara bergilir mereka tampil, dan di mana ada kesempatan, mereka membagi secara spontan sekilas kesaksian-kesaksian hidup mereka. Tampak transparan sekali, bahwa semua bakat yang mereka miliki, dengan kompak mereka persembahkan bersama-sama untuk memproklamirkan kebesaran nama Tuhan di depan kami, para penontonnya.
Perlu ditekankan di sini, bahwa kesan tersebut berasal dari seseorang yang pada waktu itu masih belum diselamatkan hidupnya! Karena seperti pandangan picik yang biasanya sudah ‘disahkan’ oleh semua orang, saya antipati sekali dengan orang-orang yang sedikit-sedikit menyebut nama Yesus di depan umum. Kebiasaan yang menurut saya aneh, dan ... sangat menjemukan! Tetapi malam itu, ... mengherankan sekali, tindakan-tindakan mereka yang tampak natural di atas panggung tersebut tidak membuat kejengkelan di dalam hati saya semakin bertambah!
Saya tidak pernah menyadari sebelumnya, bahwa lagu-lagu rohani bisa dibawakan secara kontemporer seperti itu, dengan irama-irama dan beats yang amat relevan. Sungguh berbeda dengan lagu-lagu rohani lainnya yang saya ketahui di gereja.
Nama-nama artis yang tampil malam itu tidak pernah saya dengar sebelumnya. Di antara mereka, hanya nama Nindy Ellesse saja yang dikenal oleh istri saya. Sedangkan Franky Sihombing, Sidney Mohede, Viona Likumahua*, Tylio Lobman, dan nama artis-artis lainnya, begitu juga para pemusiknya, adalah nama-nama yang baru pertama kalinya kami dengar di sana.
Ternyata tiket-tiket KKR tersebut terjual dengan sukses di kalangan masyarakat Indonesia di kota kami. Menyebabkan ruang konser di Brisbane City Hall penuh sesak oleh beratus-ratus penonton. Kebanyakan orang-orang Indonesia, tetapi ada juga orang-orang keturunan Indo-Belanda, dan beberapa orang bule. Bahkan ada beberapa pelajar/mahasiswa dari negara-negara yang lain. Yang amat menakjubkan, konser itu juga dihadiri oleh banyak sekali orang Indonesia yang tidak beragama Kristen. Kabarnya, Nindy Ellesse-lah yang menyebabkan mereka mau hadir di sana, menyangka bahwa itu adalah konser musik sekuler biasa. Tentu Tuhan mempunyai suatu rencana tertentu …!
Terus terang saja, malam itu saya merasakan ‘sesuatu’ yang belum pernah saya alami sebelumnya. Saya mendengarkan kesaksian-kesaksian, menyaksikan mereka menyanyi, dan memperhatikan sikap-sikap mereka yang amat bersungguh-sungguh saat memuji dan menyembah Tuhan. Suatu hal yang masih asing sekali bagi saya, sebagai seorang yang berdiri di ‘luar’, yang menerima kesempatan untuk menjenguk ke ‘dalam’.
Istilah Praise and Worship (Puji dan Sembah) juga baru saya ketahui untuk pertama kalinya malam itu, tanpa pengertian yang jelas mengenai arti atau maknanya. Saya harus mengakui, saya merasa heran sekali menyaksikan semua itu. Apakah hati saya sudah terjamah oleh pelayanan mereka? Saya tidak tahu. Yang saya ketahui dengan pasti, saat itu tanpa sebab saya merasa terharu sekali.
Tetapi kekerasan yang masih tetap menguasai hati saya terus berusaha untuk mempengaruhi, agar pandangan saya mengenai mereka atau suasana malam itu tidak berubah: “Bukankah ini hanya sebuah konser yang lumayan bagus saja. Besok pasti aku sudah melupakannya! Siapakah yang tertarik dengan lagu-lagu macam beginian?”
Sekarang setelah semuanya terjadi dan berlalu, mengingatnya kembali, saya merasa yakin sekali, bahwa pada malam itu ada orang-orang lain yang secara tidak langsung terpengaruh atau terjamah oleh pelayanan para artis tersebut. Mungkin ada yang kelak, pada waktu yang sudah ditentukan oleh Tuhan sendiri, menyadari akan pengaruh konser itu di dalam kehidupan mereka.
Ketika saat istirahat di tengah acara konser, kaset-kaset dan T-Shirts dari kedua grup tersebut dipromosikan oleh panitia penyelenggara. Masih terngiang-ngiang di dalam telinga komentar yang saya berikan kepada istri saya pada saat ia meminta pendapat untuk membelinya: “Terserah kamulah! Kalau mau, ya silahkan beli. Yang bakalan muter kaset-kaset itu khan kamu sendiri, aku sih ‘nggak bakalan mau ‘ndengerin lagu-lagu macam begituan!”
Saya ingat sekali, itulah jawaban yang saya berikan kepadanya, kata demi kata, kalimat demi kalimat, persis seperti itu!
Setiba di rumah kira-kira jam 10.00 malam, istri saya segera meneruskan pembuatan isi kue sus sampai larut malam. Kami berdua memutuskan untuk bersama-sama bangun jam 5.00 pagi keesokan harinya, agar ia bisa mengerjakan pembuatan kulitnya.
Sudah diperhitungkan dengan cermat sekali olehnya, bahwa kira-kira jam 10.00 pagi pengovenan kulit kue sus itu akan selesai. Melalui ibunya, seorang wanita keturunan Belanda, ia menerima didikan barat, di mana pengelolaan dan cara-cara mengatur waktu, adalah suatu hal yang amat penting. Oleh karena itu segalanya telah ia perhitungkan dengan seksama, agar kue-kue sus tersebut bisa selesai tepat pada waktu yang sudah ditentukan. Perlu ditekankan di sini, bahwa pembuatan kue sus bukan suatu hal yang baru baginya!
Minggu malam keesokan harinya kami sekeluarga sudah mempunyai acara, yaitu pertemuan arisan di rumah seorang teman, yang digabung menjadi satu dengan perayaan hari ulang tahun anaknya. Disebabkan oleh karena acara-acara yang berurutan, dari konser di Sabtu malam sampai arisan besok sorenya, kami merasa semua itu agak terlampau membebani kebiasaan jadwal akhir pekan kami bertiga, terutama anak kami yang ketika itu baru berusia lima tahun. Kami memutuskan untuk tidak pergi ke ibadah Minggu siang gereja Indonesia tersebut, yang berkesinambungan dengan perayaan hari jadi mereka yang keenam.
Saya tahu, istri saya sebenarnya ingin sekali pergi ke sana, tetapi ia mau mengalah demi kebaikan dan kesejahteraan rumah tangga kami. Ia menyadari, bahwa saya tidak menyukai gereja itu, dan tidak bakalan mau pergi ke sana dengan suka rela, tanpa melawan terlebih dahulu! Setiap alasan yang bisa saya pergunakan untuk menghindari keterlibatan kami di sana, pasti akan saya katakan dengan terus terang kepadanya!
Oleh karena itu, untuk menghindari pertengkaran yang tak berguna, ia memutuskan untuk tidak ‘memaksa’ saya pergi, melainkan menitipkan kue-kue sus tersebut kepada temannya, seorang ibu yang bertempat tinggal tidak jauh dari rumah kami.
“Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita -- oleh kasih karunia kamu diselamatkan --” (Efesus 2:4-5)
* Sekarang Viona Likumahua dikenal di kalangan kristiani di Indonesia sebagai Viona Paays
(Bersambung)
SEMUANYA ADALAH KASIH KARUNIA (5)
Kesaksian John Adisubrata
KEAJAIBAN KEDUA: GARA-GARA KUE SUS
No comments:
Post a Comment