Monday, January 5, 2009

Sekilas dari Keabadian (1)


Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata

IAN MCCORMACK, JATI DIRINYA

Orang bebal berkata dalam hatinya: “Tidak ada Allah!” Busuk dan jijik kecurangan mereka, tidak ada yang berbuat baik.’ (Mazmur 53:2)

Nama saya Ian McCormack. Saya lahir tahun 1956 di New Zealand, dan dibesarkan di sebuah kota di North Island negara tersebut, yang bernama Rotorua. Kedua orang tua saya, Colin dan Marie McCormack, bekerja sebagai guru sekolah dasar.

Saya mempunyai dua orang saudara, Sharon, kakak perempuan saya, dan Neil, adik laki-laki kami, yang berusia dua tahun lebih muda dari pada saya.

Sekalipun kami sekeluarga adalah penganut agama Kristen yang beraliran Anglican (Church of England), hanya ibu saya seorang saja, yang mempunyai iman dan hubungan pribadi yang intim dengan Tuhan Yesus Kristus. Melalui wanita pendiam ini, saya mengetahui untuk pertama kalinya arti kehidupan kristiani yang sejati.

Jauh sebelum saya menginjak usia remaja, setiap malam ia mengajak saya untuk duduk berlutut bersamanya di samping tempat tidur saya. Tak pernah terlupakan anjuran yang selalu diucapkan olehnya, agar saya berdoa kepada Tuhan dari lubuk hati yang terdalam, dan bukan menggunakan akal pikiran saya sendiri.

Berulang-ulang kali ia berkata kepada saya: “Ian, apapun yang terjadi di dalam hidup ini, bagaimanapun sulitnya keadaan yang harus engkau hadapi, bahkan sejauh apapun jarak hidupmu dari pada Tuhan pada saat itu, jika engkau berdoa dari lubuk hatimu yang terdalam, Tuhan AKAN selalu mendengar doamu, menjawab dan menolong engkau.”   

Sampai saat ini wejangan yang sering kali dikatakan olehnya tersebut tidak pernah meninggalkan diri saya lagi.

Pada suatu hari, seperti kebiasaan anak-anak kecil yang selalu ingin mengetahui hal-hal yang masih asing bagi mereka, saya mengajukan pertanyaan kepadanya: “Mama, apakah engkau yakin, bahwa Tuhan itu bukan hasil karya khayalan manusia belaka? Kalau Dia benar-benar ada, mengapa doa-doaku tidak pernah ditanggapi oleh-Nya? Mengapa aku tidak pernah merasakan hadirat-Nya?”

Ibu saya menjawab dengan menceriterakan suatu kejadian yang dialami olehnya beberapa tahun sebelumnya. Ketika seorang diri ia harus menghadapi sebuah masalah kehidupan yang amat berat, oleh karena tabiatnya yang ‘introvert’ sekali, ia hanya mempunyai satu pilihan saja, yaitu membawa persoalan tersebut langsung ke hadapan Tuhan. Dengan hati yang hancur, diiringi oleh tetesan-tetesan air mata, ia berseru kepada Tuhan dari lubuk hatinya yang paling dalam untuk memohon bimbingan dan pertolongan-Nya.

Penuh keyakinan ibu saya mengatakan, bahwa pada malam itu juga Tuhan sudah menyatakan diri kepadanya. Percakapan kami tersebut diakhiri olehnya dengan menegaskan sekali lagi kepada saya, bahwa semenjak saat itu ia sudah mempunyai hubungan yang intim dengan Tuhan Yesus Kristus, bahkan … ia sering bercakap-cakap dengan Dia!

“Bercakap-cakap dengan Tuhan? Apakah pernyataan Mama tersebut harus kutanggapi dengan serius?” Benak pikiran saya yang pada saat itu masih belum mampu untuk mencernakan kebenarannya, segera menolak dengan membisikkan ke dalam hati nurani saya, bahwa hal itu patut sekali saya ragukan!

Dengan amat sinis saya menanggapinya: “Apakah kita harus mengalami suatu ‘tragedy’ terlebih dahulu untuk bisa berhubungan dengan Tuhan, … atau merasakan hadirat-Nya?” 

Tak pernah terpikirkan, bahwa komentar sarkastik tersebut akhirnya menjadi suatu kenyataan yang amat mengerikan beberapa tahun berikutnya. Hanya oleh karena kasih karunia Tuhan yang luar biasa saja, peristiwa yang akan saya kisahkan di dalam buku kesaksian ini sudah menjadi awal titik tolak positif bagi perubahan drastis yang sekarang sudah terjadi di dalam kehidupan saya.  

Ketika masih berumur 14 tahun, saya mengambil keputusan tegas untuk berhenti mengikuti ibu saya pergi ke gereja setiap hari Minggu. Dengan terus terang sekali saya berkata kepadanya, bahwa agama Kristen adalah sebuah agama yang tidak berguna bagi saya, karena saya tidak bisa melihat makna dan tujuannya bagi kebaikan masa depan hidup saya! 

Meskipun tertegun mendengar keputusan saya tersebut, wanita yang mempunyai hati amat lembut ini menjawab penuh pengertian: “Ian, aku tidak akan memaksamu untuk melakukan sesuatu yang tidak engkau kehendaki. Keinginanku hanya untuk membekali masa depanmu dengan menunjukkan kepadamu jalan kebenaran yang harus engkau tempuh di dalam hidup ini. Tetapi Ian, jika ternyata tidak ada satu pun dari segala usahaku untuk membimbing engkau yang bisa membekas di dalam hatimu, camkanlah pesanku yang ini saja ….”

Dan seperti biasa, pada setiap kesempatan yang ada, ia menasihati saya dengan wejangan yang sama: “Apapun yang terjadi di dalam hidup ini, bagaimanapun sulitnya keadaan yang harus engkau hadapi, bahkan sejauh apapun jarak hidupmu dari pada Tuhan pada saat itu, jika engkau berdoa dari lubuk hatimu yang terdalam, Tuhan AKAN selalu mendengar doamu, menjawab dan menolong engkau.”

Kendatipun saya menolak, bahkan menyangkal keberadaan Tuhan di hadapannya, saya tahu berdasarkan pengalaman-pengalaman yang sudah saya lalui bersama dia selama itu, ibu saya tidak akan pernah berhenti memanjatkan doa kepada Tuhan bagi keselamatan hidup kami sekeluarga.

Tanpa saya sadari sendiri, dalam usia yang masih muda belia, saya sudah mengikrarkan diri saya sendiri sebagai seorang Atheist

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini

SEKILAS DARI KEABADIAN (2)
Kesaksian Ian McCormack

MUSIM PANAS YANG ABADI

No comments: