Kesaksian Ian McCormack
Oleh: John Adisubrata
‘JEMPUTAN’ KEDUA
“Ya, aku tahu: Engkau membawa aku kepada maut, ke tempat segala yang hidup dihimpunkan.” (Ayub 30:23)
Victoria Hospital terletak di atas sebuah dataran bukit yang cukup tinggi di kota Quatre Bomes. Oleh karena itu, pada waktu kami mulai memasuki daerah tersebut, di mana jalannya terasa amat berliku-liku, pengemudi ambulans itu harus menekan pedal gas mobil sedalam-dalamnya, agar mesin kendaraan yang sudah tua itu mampu membawa kami naik ke puncaknya.
Ketika dengan bersusah-payah sekali ambulans itu berusaha mendaki jalan yang menanjak tinggi untuk bisa memasuki pekarangan rumah sakit tersebut, tubuh saya yang terbaring dengan kepala di bagian belakangnya, merasakan kederasan arus peredaran darah saya yang mengalir dari bawah ke atas badan, mengakibatkan racun yang ada di dalamnya ikut terbawa dan menyerang semua organ-organ vital tubuh saya.
Saat itu juga saya menyadari untuk kedua kalinya, bahwa maut sudah berdiri di ambang pintu lagi, bersiap-siaga menunggu setiap kesempatan yang ada untuk bisa merengut nyawa saya!
Dalam keadaan yang amat kritis itu, mata saya yang sedang terbuka lebar menatap langit-langit mobil, tiba-tiba menyaksikan dengan jelas sekali sebuah gambar hidup yang seolah-olah sedang dipertunjukkan di layar perak bioskop.
Di sana saya mengikuti kisah hidup seorang anak laki-laki yang berambut pirang, … hampir putih seperti platina yang berkilau-kilauan. Berbagai bagian-bagian terpenting mengenai perkembangan hidupnya diperlihatkan di depan mata saya secara terperinci sekali. Kisah mengenai tahap-tahap pertumbuhannya, dari bayi sampai menginjak usianya yang dewasa. Tetapi yang lebih menakjubkan lagi, … kisah yang ditampilkan di dalam gambar hidup tersebut tampak tidak asing bagi saya.
Tiba-tiba saya tersentak kaget!
“Oh, … semua yang kulihat di sana sebenarnya adalah potongan-potongan ringkas riwayat hidupku sendiri!” Hati saya menjerit pilu: “Apakah mungkin saat ini adalah saat kematianku? Bukankah menurut hasil penyelidikan umum, orang-orang yang sedang menghadapinya selalu menyaksikan kilas balik seluruh riwayat hidup mereka sendiri? Apakah ini yang mereka maksudkan? Apakah ajalku sudah tiba?”
Ketika saya masih kebingungan menyaksikan gambar hidup tersebut, tiba-tiba saya melihat ibu saya tampil tepat di depannya. Dengan sinar pandangan mata yang amat tajam ia menatap wajah saya, penuh dengan kuasa dan wibawa yang menakjubkan.
Terkejut dan terheran-heran saya bertanya-tanya: “Mengapa Mama ada di sini? Apakah yang sedang terjadi?”
Sebelum sempat memikirkannya terlebih lanjut, saya mendengar ia berkata: “Ian, apapun yang terjadi di dalam hidup ini, bagaimanapun sulitnya keadaan yang harus engkau hadapi, bahkan sejauh apapun jarak hidupmu dari pada Tuhan pada saat itu, jika engkau berdoa dari lubuk hatimu yang terdalam, Tuhan AKAN selalu mendengar doamu, menjawab dan menolong engkau.”
“Berdoa kepada … Tuhan?” Termangu-mangu saya mempertanyakannya.
Oh, … saya menyadari keadaan diri saya. Sudah lama sekali saya terpisah jauh dari segala hal yang berbau keagamaan. Atas keputusan sendiri, saya sudah meninggalkan Tuhan, bahkan dengan berani sekali saya membelakangi diri-Nya, seolah-olah Dia tidak pernah ada di dalam ingatan saya!
Sebagai seorang ‘atheist’, saya benar-benar sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk memikirkan hal-hal kerohanian, apalagi mengadakan waktu bagi Tuhan!
Selain itu semenjak masa remaja, saya mempunyai pendapat yang sangat ekstrim, dan juga … ‘sarcastic’ sekali.
Saya yakin, Tuhan adalah hasil karya khayalan orang-orang yang ‘berjiwa lemah’, orang-orang yang tidak bisa mengandalkan kekuatan mereka sendiri untuk menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya. Oleh karena itu mereka ‘menciptakan’ Tuhan dan agama, berdasarkan imajinasi pikiran-pikiran mereka sendiri sebagai ‘alasan’ atau ‘tempat pelarian’ mereka, apabila mereka sudah tidak mampu lagi untuk membuktikan semua itu secara logis.
Bukankah sering kali mereka juga menggunakan ajaran-ajaran agama untuk menghakimi atau menakut-nakuti orang-orang lain yang belum percaya, terutama jika hal itu bersangkutan dengan tema kehidupan abadi sesudah kematian jasmani mereka!
Malam itu, terbaring di dalam ambulans dalam keadaan sekarat dan tidak berdaya, saya terpaksa harus menerima kenyataan yang sebenarnya, bahwa saya tidak mempunyai pilihan-pilihan lain lagi yang bisa memberikan kepada saya sebuah jalan keluar di dalam menghadapi masalah yang amat rumit dan membingungkan ini.
Dengan hati kalut saya bertanya-tanya: “Apakah ternyata Tuhan itu benar-benar ada? Apakah mungkin selama ini justru pendapatku yang keliru? Apakah kehidupan sesudah kematian ternyata bukan suatu khayalan manusia belaka?”
(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)
SEKILAS DARI KEABADIAN (14)
Kesaksian Ian McCormack
BERDOA KEPADA TUHAN YANG MANA?
No comments:
Post a Comment