Kesaksian Ian McCormack
Oleh: John Adisubrata
KEMBALI KE DALAM FIRDAUS
“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” (Yesaya 55:8-9)
Seperti setahun sebelumnya, saya menyewa bungalo yang sama di perumahan para travellers di pesisir pantai Tamarin Bay lagi. Kembali saya berada di tengah-tengah sahabat-sahabat karib saya, orang-orang lokal Creole, surfing dan diving bersama mereka.
Pada suatu malam di awal bulan Mei 1982, kira-kira seminggu sebelum saya harus pergi meninggalkan pulau Mauritius, sahabat karib saya, Simon, dengan dua orang pemuda Creole lainnya datang menjenguk saya di rumah. Mereka bermaksud untuk mengajak saya pergi menyelam bersama mereka tengah malam hari nanti.
Mula-mula saya menolak tawaran mereka, ketika menyaksikan dari atas balkon bungalo, cuaca udara di atas laut yang ditunjuk oleh Simon, tempat di mana kami akan melewatkan waktu menyelam. Keadaan langit sudah mulai menggelap, tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan berwarna abu-abu kemerah-merahan, disertai deru-deru suara petir yang tampak menyambar-nyambar dari kejauhan.
Dalam bahasa Perancis yang amat tidak sempurna, saya berkata kepadanya sambil menuding cuaca buruk tersebut: “Tapi Simon, … apakah itu bukan petir-petir yang menandakan tibanya badai sebentar lagi?”
Simon menjawab untuk menenangkan hati saya, “Janganlah kuatir Ian, dalam waktu singkat badai itu akan melewatinya. Percayalah padaku! Daerah tersebut sangat indah, belum pernah sekali pun kita menyelam di sana.”
Kendatipun hati saya masih merasa ragu-ragu dan kurang sejahtera, akhirnya saya menyetujui juga ajakan Simon untuk pergi menyelam bersama mereka.
Setelah badai berlalu, kurang lebih jam 11 malam, kami berangkat menaiki sebuah perahu kecil meninggalkan pantai Tamarin Bay. Berempat kami mendayungnya menuju ke sebuah ‘lagoon’ (danau di tepi laut), yang bernama Riviere Noir (Sungai Hitam).
Lagoon itu dibentuk oleh batu-batu karang tajam yang timbul berderet-deretan mengelilinginya di atas permukaan air laut Samudera India. Batu-batu terjal basah berwarna hitam tersebut tampak indah dan mengesankan sekali dari kejauhan, bergemerlapan memantulkan kembali sinar-sinar redup bulan purnama dan tak terhitung banyaknya bintang-bintang yang menghiasi langit di atasnya.
Bersama-sama kami berempat mendayung memasuki muara danau, meluncurkan perahu dengan pesat di atas permukaan air laut ke daerah di mana kami hendak menyelam. Setiba di tempat itu, sambil membawa lampu senter tahan air masing-masing, Simon, saya dan seorang pemuda Creole lainnya segera terjun menyelam ke dalam air. Atas perintah Simon, Paul, seorang anak laki-laki berumur kira-kira dua belas tahun ditugaskan untuk menunggu di atas permukaan laut sambil menjaga perahu kami.
Seperti biasa, kami memakai perlengkapan-perlengkapan selam yang sudah ditentukan. Simon dan temannya mengenakan pakaian selam berlengan panjang yang menutupi seluruh bagian tubuh mereka, sedangkan saya mengenakan pakaian selam yang berlengan pendek sebatas siku. Kecuali kedua lengan tangan saya, pakaian selam tersebut membungkus dan melindungi seluruh tubuh saya.
Oleh karena kebiasaan hidup di negara yang beriklim dingin sekali, mengingat suhu air laut Samudera India yang cukup hangat, tubuh saya merasa jauh lebih nyaman pada saat menyelam, jika mengenakan baju selam yang berlengan pendek. Apalagi gara-gara badai yang terjadi beberapa jam sebelumnya, suhu air laut di daerah tersebut sudah meningkat naik dengan pesat sekali!
(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)
SEKILAS DARI KEABADIAN (4)
Kesaksian Ian McCormack
MAKHLUK GANJIL BERBENTUK KOTAK
No comments:
Post a Comment