Kesaksian Ian McCormack
Oleh: John Adisubrata
VONIS YANG TERAKHIR
“Tali-tali maut telah meliliti aku, dan banjir-banjir jahanam telah menimpa aku, tali-tali dunia orang mati telah membelit aku, perangkap-perangkap maut terpasang di depanku.” (Mazmur 18:5-6)
Memandang wajah-wajah mereka yang sedang berjuang untuk menolong saya, dengan jelas sekali saya bisa membaca sinar-sinar kekuatiran yang dipancarkan olehnya. Tentu mereka telah tahu, bahwa segala upaya mereka untuk menyelamatkan diri saya pada saat itu tidak ada gunanya lagi. Karena seluruh tubuh saya sudah tidak mau memberikan reaksi lagi terhadap usaha-usaha pengobatan mereka!
Dokter tua itu menatap mata saya dengan tajam, lalu berkata: “Anak muda, aku kuatir kami hanya bisa membantumu sampai di sini saja. Aku mengerti penderitaanmu, tetapi kami tidak mampu lagi untuk menolongmu. Racun ubur-ubur laut yang mematikan itu telah berhasil merusak organ-organ vital yang ada di dalam tubuhmu.”
Menolak kenyataan yang baru dikatakan olehnya tersebut, saya menjerit dengan hati pilu: “Aku akan terus berusaha untuk mempertahankan, agar kedua mataku tetap terbuka, karena aku tidak boleh terlena tidur. Aku belum mau mati! Aku harus berjuang untuk melawan racun ganas ini sekuat tenagaku!”
Akhirnya karena menyadari bahwa mereka sudah tidak mampu untuk menolong diri saya lagi, mereka memindahkan saya dari dalam kursi roda ke atas tempat tidur yang tersedia di dalam ruang opname tersebut.
Kadar kelembaban tubuh saya yang tadinya amat menurun, tiba-tiba menjadi meningkat lagi oleh karena cairan tetes botol serum yang sudah diinfuskan ke dalam tubuh saya. Butir-butir keringat dingin mulai tampak merembes keluar melalui pori-pori kulit kepala, terutama di kening saya.
Mata saya yang sudah terasa letih sekali terus berusaha mempengaruhi diri saya untuk menyerah, … untuk segera beristirahat. Hanya sekejab saja, katanya! Tetapi dengan tegas saya menolaknya! Saya tetap memaksakan diri untuk membuka kedua mata saya lebar-lebar, menatap para dokter dan perawat-perawat di depan saya, yang juga sedang memandang wajah saya dengan raut-raut muka penuh rasa iba.
Butir-butir keringat di sekitar kening saya mulai bergabung menjadi satu. Dan oleh karena kepala saya terlena miring ke sebelah kanan, cairan keringat tersebut mengalir turun melewati alis lalu menggenangi rongga mata kanan saya.
Peluh yang mengandung unsur-unsur garam tersebut menimbulkan rasa perih yang menusuk-nusuk bola mata saya. Seketika itu juga pandangan mata kanan saya menjadi kabur sekali!
Dokter tua itu bergerak memalingkan tubuhnya, berhasrat untuk pergi meninggalkan ruangan tersebut. Melihat hal itu saya berusaha untuk berteriak memanggilnya. Tetapi seperti kenyataan yang sudah semenjak tadi terjadi, mulut saya sama sekali tidak berdaya untuk mengeluarkan suara apa-apa!
Saya hanya mampu menjerit pilu di dalam hati: “Pak dokter, … datanglah kembali, jangan tinggalkan aku! Tolong, … basuhlah mata kananku yang perih ini terlebih dahulu, karena aku tidak bisa melihat dengan jelas lagi. Tolonglah aku, Pak! Tolonglah!”
Tetapi ia telah pergi ke luar meninggalkan saya.
Saya ingin sekali membasuh sendiri cairan keringat yang sedang menggenangi dan mengganggu pandangan mata kanan saya. Tetapi kenyataannya, kedua tangan saya sudah lumpuh sama sekali!
Memakai sisa-sisa kekuatan yang masih ada pada otot-otot leher, saya berusaha memalingkan kepala saya lebih ke kanan lagi, dengan tujuan agar genangan keringat di dalam rongga mata kanan saya tersebut bisa dipaksakan mengalir keluar melalui sampingnya.
Tetapi usaha itu pun gagal, karena ternyata leher saya juga sudah tidak berdaya untuk melakukannya!
Saya berpikir untuk memejamkan kedua mata saya sekuat-kuatnya saja, agar cairan keringat tersebut bisa mengalir keluar melalui kerutan-kerutan kulit yang terbentuk di sisi mata kanan saya.
Tetapi pada saat saya melakukannya, suatu rasa nyaman yang tak terlukiskan, … yang amat menggoda, dan … yang tidak bisa saya hindari lagi, tiba-tiba secara ajaib sekali menguasai diri saya! Kali ini saya tidak dapat menahan keinginan hati saya lagi untuk membiarkan kedua mata saya terus terpejam.
Saya menghembuskan nafas yang panjang sambil menggumam sendiri: “Baiklah, … aku akan beristirahat terlebih dahulu! Biarlah kukatupkan kedua mataku, … lima menit saja! Nanti … jika tubuhku sudah terasa lebih segar, aku akan berjuang lagi. Tapi sekarang, ... lebih baik aku beristirahat sejenak, … sejenak saja!”
Luar biasa sekali, ... saya menikmati suatu kelegaan yang sangat sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata, yang seketika itu juga bisa mengatasi segala penderitaan-penderitaan yang baru saja saya lalui sebelumnya.
Segala usaha untuk berjuang mempertahankan hidup saya menjadi terhenti pada saat itu juga. Saya merasa diri saya seolah-olah sudah dibebaskan. Semua penderitaan yang saya alami semenjak tadi ternyata sudah berakhir! Tubuh saya terasa ringan sekali!
“Oh, … aku telah tertidur!” Saya menggumam lagi sambil menarik nafas lega.
(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)
SEKILAS DARI KEABADIAN (19)
Kesaksian Ian McCormack
KEBERADAAN YANG TIDAK ADA
No comments:
Post a Comment