Kesaksian Ian McCormack
Oleh: John Adisubrata
MUSIM PANAS YANG ABADI
“Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka.” (Efesus 2:2)
Sedari masa kanak-kanak saya adalah seorang pemuja kehidupan alam terbuka. Berdasarkan ‘hobby’ tersebut saya mengambil keputusan untuk meneruskan pendidikan saya di bidang ‘Agriculture’ (Pertanian), yang sudah saya selesaikan pada tahun 1978 di Lincoln University, sebuah universitas yang terletak di South Island negara kami.
Sebagai seorang pemuda yang hidup di sebuah negara kepulauan yang beriklim dingin sekali, saya selalu merasa tertarik akan negara-negara tropikal yang menawarkan keindahan pantai-pantainya bagi para penggemar olahraga-olahraga air laut, seperti: ‘surfing’ atau ‘diving’.
Diilhami oleh kisah perjalanan dan petualangan dua orang pemuda yang sebaya dan ‘sependirian’ dengan saya di dalam sebuah film termasyhur berjudul: ‘Endless Summer’ (Musim Panas Tanpa Akhir) yang diputar di bioskop pada tahun 1979, saya memutuskan untuk pergi bertamasya mengelilingi dunia. Seperti mereka, saya ingin mengembara menikmati masa muda terlebih dahulu, sebelum saya terjun ke dalam arus dunia pekerjaan yang serius.
Berdua dengan Tony, sahabat karib saya, kami merencanakan suatu perjalanan liburan berjangka panjang untuk mengunjungi negara-negara yang memiliki pantai-pantai terindah di dunia.
Setelah mengumpulkan seluruh ‘harta-harta benda’ paling berharga yang saya miliki, dan kemudian menjualnya, … pada bulan April 1980 kami berdua bertolak meninggalkan New Zealand dengan membawa bekal-bekal yang secukupnya saja. Tanpa mempunyai jadwal perjalanan yang tetap, kami memulainya dengan menelusuri pantai-pantai termasyhur di Australia, Indonesia dan kemudian Malaysia.
Di pulau Penang Tony dan saya memutuskan untuk berpisah, karena ia ingin meneruskan perjalanannya ke India, sedangkan saya mempunyai keinginan untuk mengunjungi seorang sahabat saya di Sri Lanka terlebih dahulu.
Setelah melewati waktu selama beberapa minggu di pantai-pantai terkenal negara itu, untuk menghemat biaya, saya bekerja sebagai salah seorang awak kapal pengangkutan barang-barang yang akan bertolak dari Sri Lanka menuju ke benua Afrika. 26 hari lamanya kami mengarungi lautan sebelum mendarat di sebuah pulau amat mungil yang bernama Mauritius, ... sebuah pulau yang terletak di sebelah timur pulau Madagascar.
Termangu-mangu saya mengagumi keindahan panorama sepanjang pesisir pulau tersebut yang diliputi oleh kemegahan alam raya Samudera India yang masih natural dan murni sekali. Benar-benar merupakan sebuah pulau optimal yang paling indah di dunia, yang pernah saya saksikan sampai saat itu! Laksana keindahan taman Firdaus yang memiliki kesempurnaan pantai-pantai laut idaman para penggemar olahraga-olahraga air seperti saya.
Di pelabuhan Port Louis kapal kami melemparkan sauhnya. Ketika saya menjejakkan kedua kaki di pulau tersebut untuk pertama kalinya, saya merasa yakin, bahwa saya harus singgah di sana, bahkan melewatkan waktu yang cukup lama, untuk bisa menikmati keindahan pantai-pantainya.
Dengan alasan itu saya membatalkan rencana saya yang mula-mula untuk meneruskan perjalanan bersama kapal tersebut menuju ke benua Afrika.
Saya menyewa sebuah bungalo di daerah pantai yang bernama Tamarin Bay. Di sana saya membaur dan menjalin persahabatan yang erat dengan para nelayan dan penduduk setempat pulau Mauritius yang mempunyai gaya hidup amat sederhana.
Mereka dijuluki orang-orang Creole, penduduk pulau Mauritius keturunan bangsa-bangsa yang berasal dari benua Afrika, yang didatangkan beberapa abad sebelumnya sebagai budak-budak perkebunan milik bangsa-bangsa berkulit putih yang menjajah pulau tersebut semenjak abad yang ke-15 (1598–1710: bangsa Belanda, 1715–1810: bangsa Perancis, dan 1810–1968: bangsa Inggris).
Tidak lama setelah kehadiran orang-orang Creole di pulau Mauritius, pada abad-abad berikutnya pendatang-pendatang yang berasal dari benua Asia, orang-orang Cina dan orang-orang India, juga dipekerjakan di perkebunan-perkebunan tersebut.
Pulau Mauritius diikrarkan sebagai sebuah negara Republik pada tahun 1992. Kendatipun sekarang bahasa Inggris adalah bahasa resmi negara itu, orang-orang Creole mempunyai bahasa tersendiri yang mereka pergunakan sehari-hari. Sebuah bahasa campuran yang berasal dari bahasa Perancis dan bahasa-bahasa dialek Afrika.
Saya hidup di tengah-tengah penduduk lokal Creole, bergaul karib dengan mereka, dan menjalin persahabatan yang erat dengan para pemuda Creole yang berumur sebaya dengan saya.
Sering kali pada waktu malam hari mereka mengajak saya untuk pergi menyelam di dalam laut, di antara batu-batu karang Samudera India. Mereka mengajar saya cara-cara menangkap ikan, ‘crayfish’ atau ‘lobster’ (udang-udang karang yang besar) di tengah kegelapan malam dengan menggunakan lampu-lampu senter tahan air.
Selama berjam-jam kami berkeliaran di dasar lautan di antara batu-batu karang yang terjal untuk mencari bahan-bahan makanan yang kami perlukan.
Sedikit yang saya ketahui pada saat itu, bahwa di bawah permukaan air laut tersedia begitu banyak macam ikan-ikan dan binatang-binatang laut lainnya yang mempunyai potensi besar sekali untuk menjadi lauk-pauk makanan kami sehari-hari.
Semenjak mengunjungi beberapa negara blok ketiga dan menyaksikan sendiri betapa berat perjuangan hidup para penduduknya hanya untuk bisa mencari nafkah hidup mereka sehari-hari, hati nurani saya mulai mempertanyakan makna dan tujuan hidup setiap insan di dunia pada umumnya. Pribadi saya merasa tertegur sekali melihat keekstriman perbedaan jarak taraf-taraf hidup umat manusia di pelbagai negara yang saya kunjungi.
Selama itu saya hanya mengetahui persamaan taraf-taraf hidup penduduk negara-negara blok yang pertama saja, seperti: New Zealand atau Australia. Mereka semua hidup diliputi oleh kemakmuran yang berlimpah-limpah.
Tetapi mengapa rakyat jelata di negara-negara blok ketiga … selalu hidup penuh kekurangan? Apakah yang menyebabkan mereka harus berjuang sedemikian rupa? Di manakah letak keadilannya?
Perjalanan petualangan tersebut juga membuat saya menyadari adanya berbagai-macam agama-agama di dunia, yang menyembah allah-allah yang berbeda dengan Tuhan yang disembah oleh orang-orang kristiani.
Sebagai seorang ‘atheist’, secara tidak langsung pengamatan tersebut mengakibatkan hati nurani saya bertanya-tanya sendiri. Mengapa ada begitu banyak orang-orang di dunia yang mau memuja ‘sesuatu’ yang secara alamiah tidak bisa dibuktikan sama sekali kebenarannya? Seperti ibu saya, mengapa mereka seolah-olah tahu dan percaya, bahwa selain dunia yang tampak nyata ini, ada suatu alam lain yang tidak kelihatan? Apakah yang menyebabkannya?
Setelah menetap selama dua bulan di pulau indah terpencil itu, tak terasa saya sudah berkelana kurang-lebih setahun lamanya. Kehidupan bebas yang saya nikmati di pesisir pantai Tamarin Bay, surfing dan diving sepanjang hari, mengakibatkan persediaan keuangan saya menjadi semakin menipis. Rekan-rekan ‘travellers’ lainnya menganjurkan, agar saya pergi ke South Africa saja untuk mencari pekerjaan di sana.
Menyetujui anjuran mereka saya terbang ke kota Durban. Di sebuah ‘holiday resort’ kota tersebut saya mendapat pekerjaan sebagai seorang pelatih surfing yang ditugaskan untuk mengajar para turis cara-cara menunggangi ombak-ombak laut.
Sepuluh bulan lamanya saya bekerja di tempat itu dan berhasil mengumpulkan dana cukup besar untuk membiayai rencana perjalanan saya yang berikutnya.
Tetapi ternyata hal itu harus saya tangguhkan terlebih dahulu, karena secara mendadak sekali, saya menerima kabar, bahwa saya harus pulang kembali ke New Zealand untuk menghadiri pesta pernikahan adik saya, Neil.
Karena saya masih mempunyai waktu beberapa minggu, dan terutama … keinginan yang besar sekali untuk mengunjungi pulau Mauritius lagi, saya mengatur jadwal penerbangannya sedemikian rupa, sehingga sebelum terbang kembali ke New Zealand saya masih bisa singgah di Tamarin Bay untuk melewatkan waktu bersama sahabat-sahabat saya, orang-orang Creole.
Tak pernah terpikirkan sebelumnya, bahwa ternyata perjalanan saya tersebut merupakan perjalanan terakhir yang menentukan, yang akan mengubah sikap hidup saya untuk selama-lamanya!
Suatu peristiwa yang mengerikan sekali telah terjadi pada diri saya di sana, pada suatu malam yang tak terlupakan, di pantai pulau indah yang sudah menawan hati saya semenjak saya melihatnya untuk pertama kali!
(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)
SEKILAS DARI KEABADIAN (3)
Kesaksian Ian McCormack
KEMBALI KE DALAM FIRDAUS
No comments:
Post a Comment