Kesaksian Ian McCormack
Oleh: John Adisubrata
DUNIA ORANG MATI
“tali-tali dunia orang mati telah membelit aku, perangkap-perangkap maut terpasang di depanku.” (2 Samuel 22:6)
“Jadi … aku sekarang berada di mana?” Termangu-mangu saya mengawasi kekelaman di sekeliling saya: “Tempat gelap ini tidak tertembus oleh sinar apapun juga. Tempat apakah ini?”
Tiba-tiba, … entah berasal dari mana, suatu ‘atmosfir’ dingin yang amat menakutkan melanda daerah itu. Kendatipun gelap gulita, yang menyebabkan saya tidak mampu melihat apa-apa, naruli saya bisa ‘meraba’ kehadiran roh-roh lain yang datang dari berbagai jurusan. Kehadiran mereka di sekeliling saya menimbulkan rasa takut di dalam hati yang sukar sekali untuk diuraikan dengan kata-kata.
Tentu roh-roh tersebut baru menyadari kehadiran saya sebagai seorang pendatang yang belum lama ‘mendarat’ di tempat itu. Saya tahu, saya sedang menjadi pusat perhatian mata-mata limunan mereka yang mengawasi saya dari pelbagai arah!
Kesunyian di situ tiba-tiba dipecahkan oleh suara nyaring bentakan seorang laki-laki yang terdengar sedang berdiri di sebelah kanan saya: “Tutup mulutmu! Engkau sudah mengganggu ketenangan kami!”
“Tutup mulut?! Sedari tadi aku tidak mengatakan sesuatu apapun!” Saya menjawab untuk membela diri.
Ketika itu saya belum menyadari, bahwa segala sesuatu yang ada di dalam pikiran saya merupakan pernyataan-pernyataan yang bisa didengar dengan jelas oleh ‘telinga-telinga’ mereka. Setiap pertanyaan yang sedari tadi berkecamuk di dalam benak pikiran saya sudah mengganggu keheningan yang biasanya menguasai tempat itu!
Menanggapi jawaban saya, dengan suara lantang yang amat menakutkan, seorang lain yang terdengar berdiri di sebelah kiri saya berteriak: “Engkau layak sekali berdiam di tempat ini!”
Terkejut mendengar bentakannya, saya menjawab: “Aku layak tinggal di tempat ini?! Di manakah sebenarnya aku berada sekarang?”
Tepat di hadapan saya seorang laki-laki yang lain lagi menyeringai dengan suara yang menyebabkan bulu-bulu roma di tengkuk leher saya berdiri tegak semua: “Engkau berada di NERAKA!”
“Neraka? Apakah mungkin tempat ini yang dinamakan neraka?” Termangu-mangu saya berpikir sambil berusaha untuk mencernakan jawabannya.
Tempat gelap gulita yang amat dingin tersebut benar-benar menggambarkan dengan jitu sekali tempat pengasingan bagi roh-roh jahat seperti mereka, yang terdengar kasar, keji dan penuh kekerasan.
Bukankah neraka merupakan tempat penghukuman abadi bagi para pemberontak hukum-hukum Tuhan, orang-orang yang selalu mementingkan diri mereka sendiri, dan yang gemar melakukan tindakan-tindakan yang jahat terhadap sesamanya pada masa-masa hidup mereka?
Karena saya tidak mempercayai keberadaan Tuhan, saya juga tidak pernah mempercayai keberadaan neraka. Pada waktu itu saya merasa yakin sekali, bahwa sebenarnya neraka adalah hasil karya imajinasi daya pikiran manusia belaka, dengan tujuan untuk menakut-nakuti orang-orang lain yang menolak untuk mempercayainya.
Tetapi kenyataan yang sedang saya hadapi ketika itu membuat hati saya semakin bertanya-tanya mengenai kemutlakan pendapat saya yang ekstrim tersebut: “Apakah aku benar-benar berada di neraka? Apakah mungkin tempat ini yang disebut oleh orang-orang percaya sebagai neraka?”
Seperti pandangan umum yang gemar sekali melecehkannya, saya juga mempunyai pendapat yang sangat sarkastik mengenai ‘tempat’ itu! Jika neraka betul-betul ada, maka tempat itu tentu merupakan suatu tempat di mana semua insan secara bebas bisa melakukan ‘segala sesuatu’ yang mereka inginkan. Suatu tempat berpesta-pora, di mana kata ‘larangan’ tidak terdapat di dalam perbendaharaan kata-kata mereka. Di sana setiap orang bisa bersuka-ria untuk selama-lamanya, melampiaskan segala hawa nafsu yang dulu tidak ‘sempat’ mereka kerjakan di dunia!
Tetapi kenyataan yang sedang saya alami itu menyadarkan saya: “Benar, … inilah neraka! Tempat ini bukan tempat khayalan manusia belaka, tetapi benar-benar ada! Sekarang aku sudah tidak berbentuk jasmani lagi, sehingga aku tidak terpengaruh oleh rasa lelah, lapar atau haus! Selain itu, tempat ini tidak terikat oleh jarak atau waktu. Aku bisa berada di sini selama lima menit atau 5000 tahun tanpa pernah menyadarinya. Tempat sangat gelap ini tidak mengenal batas-batas untuk mengukur jarak, dan sinar matahari untuk mengukur waktu. Tentu inilah yang dimaksud oleh orang-orang percaya sebagai neraka!”
Hati saya menjadi gundah sekali. Penuh penyesalan saya mengeluh: “Oh, … semuanya sudah terlambat, … sekarang aku harus menanggung hukuman ini! Dulu … setiap kesempatan untuk menerima kebenaran firman Tuhan selalu kutolak, baik yang diberitakan oleh orang-orang percaya, maupun yang ditawarkan oleh ibuku sendiri.”
Teringatlah saya akan doa Bapa Kami yang saya panjatkan di dalam ambulans, yang telah menerima bantuan supranatural … dari sorga.
Mengingat hal itu hati saya menjadi semakin sedih. Penuh kekecewaan saya berargumentasi sendiri: “Bukankah tadi aku sudah memanjatkan doa tersebut dari lubuk hatiku yang paling dalam? Dan setelah itu, bukankah aku juga merasa yakin sekali, bahwa Ia sudah mengampuni dosa-dosaku, bahkan mendamaikan diriku dengan diri-Nya.”
“Oh, … Tuhan.” Saya mengeluh dengan hati hancur: “Jika Engkau benar-benar sudah mengampuni diriku, mengapa Engkau membiarkan aku masuk ke tempat yang amat mengerikan seperti ini?”
(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)
SEKILAS DARI KEABADIAN (21)
Kesaksian Ian McCormack
SINAR PENGANGKATAN
No comments:
Post a Comment