Sunday, January 4, 2009

Tribute: Bapa Yang Setia (1)

Oleh: John Adisubrata

MY FATHER, MY HERO

Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah, dan perhatikanlah supaya engkau beroleh pengertian, karena aku memberikan ilmu yang baik kepadamu; janganlah meninggalkan petunjukku. (Amsal 4:1)

Ayah saya bukan seorang ayah yang sempurna. Seperti kebanyakan ayah-ayah orang lain, ia juga mempunyai banyak kekurangan. Selain orangnya memang pendiam dan jarang mau berkata-kata jika tidak diperlukan, ia mempunyai tabiat yang keras, kemauan yang tidak kenal menyerah, sifat-sifat yang amat tegas dan tindak-tanduk penuh kewibawaan.

Selama masa-masa pertumbuhan saya, saya mengenal ayah saya sebagai seorang pria yang selalu memperlihatkan raut muka yang serius. Jarang sekali ia mau bergurau. Kadang kala saja saya bisa menyaksikan ia bercanda dengan kami, anak-anaknya. Sering kali saya harus menerima pukulan-pukulan rotan dari genggaman tangannya yang kekar dan kuat, jika saya bertindak nakal dan melakukan kesalahan atau hal-hal yang membangkitkan amarahnya.

Bagi mereka yang belum mengenal dirinya secara akrab, ia selalu terkesan galak sekali.

Dahulu tidak jarang saya merasa kecewa mempunyai ayah seperti dia, terutama jika melihat sikap ayah-ayah teman saya yang jauh lebih fleksible, ramah, kocak, dan terutama, yang memperlakukan anak-anak mereka seperti sahabat-sahabat yang sebaya umurnya. Tetapi semenjak saya mulai menginjak usia dewasa, apalagi sesudah saya mengenal Tuhan, saya bisa memaklumi karakter-karakternya.

Ayahnya meninggal dunia ketika ia baru berumur lima tahun. Bersama dengan kakak perempuannya ia dibesarkan oleh ibu mereka seorang diri. Dan sebagai seorang janda yang masih berusia cukup muda, nenek kami harus berjuang keras untuk bisa membiayai kehidupan keluarganya. Keinginannya hanya satu, yaitu melihat ayah saya meneruskan pendidikannya di sekolah tinggi.

Tanpa figur seorang laki-laki di dalam rumahnya, ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang amat cerdas dan penuh ambisi. Selain mempunyai IQ yang tinggi sekali, sedari kecil ayah saya adalah penggemar kegiatan-kegiatan sport, bahkan pada masa mudanya ia terjun di sana untuk mengambil bagian di dalamnya. Salah satu ‘puncak’ yang berhasil diraih olehnya di bidang kesayangannya tersebut, adalah ketika ia menjadi salah seorang pemain sepak bola kesebelasan nasional Singapore. Beberapa tahun lamanya ia ikut mewakili mereka bertanding melawan negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Sampai usianya yang lanjut ia tetap rajin berolahraga, terutama di bidang tenis

Entah oleh karena pengaruh pendidikan tanpa kehadiran seorang ayah di dalam hidupnya, ia jarang sekali menunjukkan affection-nya kepada kami. Tak pernah sekalipun ia menunjukkan kasih sayangnya kepada kami, anak-anaknya, melalui sentuhan atau pelukan. Kendatipun sinar wajahnya sering kali membuat kami, dan juga para pegawai perusahaannya merasa takut, gentar dan mau-tidak-mau ... harus menghormatinya, ia sebenarnya memiliki banyak sekali karakter-karakter lembut mengagumkan yang tersembunyi rapat di baliknya.

Tidak pernah ia menunjukkan perbedaan di dalam mengasihi anak-anaknya. Kami selalu menerima perhatian yang sama. Salah satu tabiatnya yang positif adalah kenyataan, bahwa ia tidak pernah membedakan anak-anaknya berdasarkan ‘penampilan’ mereka. Ia tidak hanya mengasihi dan memperhatikan anak-anaknya yang bertampang cakap, tetapi ia juga tidak mengabaikan yang lain, yang berwajah biasa-biasa saja.

Kakak laki-laki saya, anaknya yang keempat, dikaruniai oleh Tuhan wajah yang sangat tampan. Ia lahir sebagai bayi yang berwajah sempurna, lucu dan menawan hati. Oleh karena kelebihan-kelebihannya itu, ia mendapat perhatian dari banyak sekali anggota keluarga kami. Ia disayangi dan dielu-elukan oleh semua orang. Setahun kemudian, ketika saya, ... anak bungsunya, hadir di dunia untuk pertama kali, sambutan yang saya terima dari mereka berbeda sekali. Kekurangan-kekurangan yang saya miliki tampak nyata dibandingkan dengan kesempurnaan kakak saya sebagai bayi berwajah cakap yang sudah menawan hati mereka.

Selama masa-masa pertumbuhan kami, mereka tidak pernah berhenti mengingatkan saya mengenai perbedaan tersebut. Bahkan sebagian dari mereka terang-terangan memperlakukan kami secara berlainan. Mungkin di luar kesadaran mereka sendiri, mereka ingin memastikan, agar saya tidak akan melupakan kejadian itu untuk selama-lamanya. Tampaknya tujuan mereka berhasil dengan jitu sekali!

Tetapi ... ayah saya tidak pernah membedakan kami berdua! Ia sudah bisa melihat jauh ke depan kelebihan-kelebihan saya di balik segala kekurangan ‘tampak luar’ yang tidak bisa disembunyikan tersebut. Nasihat rasul Paulus yang mengatakan: “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” (Kolose 3:21) benar-benar diterapkan olehnya di dalam kehidupan kami berdua. Dan akibatnya, … perlakuannya yang adil tersebut membekas di dalam hati saya untuk selama-lamanya.

Sedari kecil perasaan minder menghantui diri saya yang menyebabkan saya sering kali bertanya-tanya: “Mengapa wajahku tidak setampan wajah kakakku? Mengapa diriku tidak sempurna seperti dirinya?” Saya rindu sekali untuk mendapatkan perhatian dari keluarga-keluarga kami sebesar perhatian yang mereka berikan kepadanya. 

Di sanalah Tuhan menjawab dan menunjukkan kepedulian-Nya terhadap segala jeritan-jeritan pedih tak terucapkan yang sudah mengendap lama sekali di dalam hati saya semenjak saya mengerti akan arti perbedaan-perbedaan perlakuan mereka terhadap kami berdua. Suatu hal yang mengharukan sekali terjadi ketika saya menginjak usia remaja, yang tidak akan pernah saya lupakan lagi untuk selama-lamanya.

Pada suatu hari … ketika saya masih berumur kira-kira 16 tahun, setelah menatap wajah saya beberapa saat lamanya dengan kedua mata yang bersinar-sinar penuh kebanggaan, ia berkata: “John, tidak pernah terbayangkan oleh Papa, bahwa engkau sekarang bisa berubah menjadi seperti ini.”

Oh, ... suatu pernyataan indah dan penghargaan dari seorang ayah yang seketika itu juga melambungkan kepercayaan diri saya ke suatu ‘tingkat’ yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Bahwa seorang pendiam seperti dia yang jarang sekali mau menunjukkan emosinya di hadapan orang lain, mau menyatakan perasaannya seperti itu, … hanya untuk saya seorang saja, adalah suatu mujizat yang tidak pernah saya harapkan. Perlakuan ayah saya berhasil membina kembali citra diri saya yang pada waktu itu sudah hancur berantakan. Di mata saya tindakan yang baru ia lakukan tersebut adalah suatu kehormatan yang luar biasa!

Memang benar ... kendatipun pada saat itu wajah saya masih tetap tidak setampan wajah kakak saya, tetapi Tuhan bertindak adil sekali, sebab selama tahun-tahun pertumbuhan kami, perbedaan yang tadinya berjarak cukup jauh, … perlahan-lahan menjadi berkurang. Ia mengaruniakan kepada saya beberapa ‘kelebihan’ untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang tadinya tampak jelas sekali di mata orang-orang lain.

Semenjak saat itu saya menjadi semakin mengasihi dan menghormati ayah saya. Saya merasa bahagia sekali menyadari, bahwa ia ternyata bangga mempunyai anak seperti saya, dan mau menghargai diri saya seperti apa adanya.

Ia adalah pahlawan saya yang terbesar, yang telah dipakai oleh Tuhan untuk memulihkan citra diri saya yang sedang terluka parah. Tanpa ingin menimbulkan kesan, bahwa saya mengabaikan kasih dan penghargaan ibu atau saudara-saudara saya, saya ingin meluruskan, bahwa kenyataannya adalah: ... hanya ayah saya saja yang berhasil meninggalkan bekas-bekas tak terlupakan itu terukir di dalam hati dan kehidupan saya untuk selama-lamanya.

Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia.” (Mazmur 103:13)

(Bersambung) 

Tribute:
BAPA YANG SETIA (2)

MY FATHER, MY SAVIOUR

No comments: