Oleh: John Adisubrata
Ayah saya bukan seorang ayah yang sempurna. Seperti kebanyakan ayah-ayah orang lain, ia juga mempunyai banyak kekurangan. Selain orangnya memang pendiam dan jarang mau berkata-kata jika tidak diperlukan, ia mempunyai tabiat yang keras, kemauan yang tidak kenal menyerah, sifat-sifat yang amat tegas dan tindak-tanduk penuh kewibawaan.
Selama masa-masa pertumbuhan saya, saya mengenal ayah saya sebagai seorang pria yang selalu memperlihatkan raut muka yang serius. Jarang sekali ia mau bergurau. Kadang kala saja saya bisa menyaksikan ia bercanda dengan kami, anak-anaknya. Sering kali saya harus menerima pukulan-pukulan rotan dari genggaman tangannya yang kekar dan kuat, jika saya bertindak nakal dan melakukan kesalahan atau hal-hal yang membangkitkan amarahnya.
Dahulu tidak jarang saya merasa kecewa mempunyai ayah seperti dia, terutama jika melihat sikap ayah-ayah teman saya yang jauh lebih fleksible, ramah, kocak, dan terutama, yang memperlakukan anak-anak mereka seperti sahabat-sahabat yang sebaya umurnya. Tetapi semenjak saya mulai menginjak usia dewasa, apalagi sesudah saya mengenal Tuhan, saya bisa memaklumi karakter-karakternya.
Ayahnya meninggal dunia ketika ia baru berumur
Entah oleh karena pengaruh pendidikan tanpa kehadiran seorang ayah di dalam hidupnya, ia jarang sekali menunjukkan ‘affection’-nya kepada kami. Tak pernah sekalipun ia menunjukkan kasih sayangnya kepada kami, anak-anaknya, melalui sentuhan atau pelukan. Kendatipun sinar wajahnya sering kali membuat kami, dan juga para pegawai perusahaannya merasa takut, gentar dan mau-tidak-mau ... harus menghormatinya, ia sebenarnya memiliki banyak sekali karakter-karakter lembut mengagumkan yang tersembunyi rapat di baliknya.
Tidak pernah ia menunjukkan perbedaan di dalam mengasihi anak-anaknya. Kami selalu menerima perhatian yang sama. Salah satu tabiatnya yang positif adalah kenyataan, bahwa ia tidak pernah membedakan anak-anaknya berdasarkan ‘penampilan’ mereka. Ia tidak hanya mengasihi dan memperhatikan anak-anaknya yang bertampang cakap, tetapi ia juga tidak mengabaikan yang lain, yang berwajah biasa-biasa saja.
Kakak laki-laki saya, anaknya yang keempat, dikaruniai oleh Tuhan wajah yang sangat tampan. Ia lahir sebagai bayi yang berwajah sempurna, lucu dan menawan hati. Oleh karena kelebihan-kelebihannya itu, ia mendapat perhatian dari banyak sekali anggota keluarga kami. Ia disayangi dan dielu-elukan oleh semua orang. Setahun kemudian, ketika saya, ... anak bungsunya, hadir di dunia untuk pertama kali, sambutan yang saya terima dari mereka berbeda sekali. Kekurangan-kekurangan yang saya miliki tampak nyata dibandingkan dengan kesempurnaan kakak saya sebagai bayi berwajah cakap yang sudah menawan hati mereka.
Tetapi ... ayah saya tidak pernah membedakan kami berdua! Ia sudah bisa melihat jauh ke depan kelebihan-kelebihan saya di balik segala kekurangan ‘tampak luar’ yang tidak bisa disembunyikan tersebut. Nasihat rasul Paulus yang mengatakan: “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” (Kolose 3:21) benar-benar diterapkan olehnya di dalam kehidupan kami berdua. Dan akibatnya, … perlakuannya yang adil tersebut membekas di dalam hati saya untuk selama-lamanya.
Sedari kecil perasaan minder menghantui diri saya yang menyebabkan saya sering kali bertanya-tanya: “Mengapa wajahku tidak setampan wajah kakakku? Mengapa diriku tidak sempurna seperti dirinya?” Saya rindu sekali untuk mendapatkan perhatian dari keluarga-keluarga kami sebesar perhatian yang mereka berikan kepadanya.
Oh, ... suatu pernyataan indah dan penghargaan dari seorang ayah yang seketika itu juga melambungkan kepercayaan diri saya ke suatu ‘tingkat’ yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Bahwa seorang pendiam seperti dia yang jarang sekali mau menunjukkan emosinya di hadapan orang lain, mau menyatakan perasaannya seperti itu, … hanya untuk saya seorang saja, adalah suatu mujizat yang tidak pernah saya harapkan. Perlakuan ayah saya berhasil membina kembali citra diri saya yang pada waktu itu sudah hancur berantakan. Di mata saya tindakan yang baru ia lakukan tersebut adalah suatu kehormatan yang luar biasa!
Memang benar ... kendatipun pada saat itu wajah saya masih tetap tidak setampan wajah kakak saya, tetapi Tuhan bertindak adil sekali, sebab selama tahun-tahun pertumbuhan kami, perbedaan yang tadinya berjarak cukup jauh, … perlahan-lahan menjadi berkurang. Ia mengaruniakan kepada saya beberapa ‘kelebihan’ untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang tadinya tampak jelas sekali di mata orang-orang lain.
Tribute:
BAPA YANG SETIA (2)
MY FATHER, MY SAVIOUR
No comments:
Post a Comment