Kesaksian Ian McCormack
Oleh: John Adisubrata
‘JEMPUTAN’ PERTAMA
“Apakah pintu gerbang maut tersingkap bagimu, atau pernahkah engkau melihat pintu gerbang kelam pekat?” (Ayub 38:11)
Getaran-getaran dan goncangan-goncangan aneh yang terjadi pada seluruh tubuh saya akhirnya berhenti, diganti oleh rasa dingin yang mengakibatkan seluruh tulang-tulang di dalam tubuh saya terasa ‘ngilu kesakitan, seperti ditusuk-tusuk oleh beribu-ribu jarum yang amat lembut!
Selain itu mata saya juga bisa melihat sebuah kabut hitam yang meliputi kedua kaki saya, dan yang sedang bergerak perlahan-lahan naik ke atas. Tidak lama kemudian seluruh bagian-bagian tubuh saya yang lain ikut terbungkus di dalam kabut hitam tersebut!
Bersamaan dengan kejadian itu, kedinginan alam maut yang membekukan, yang tidak dapat saya uraikan dengan kata-kata terasa ikut menjalar naik melalui setiap tulang-tulang sumsum di dalam tubuh saya. Sehingga ketika rahang saya mulai dipengaruhi olehnya, terdengarlah bunyi benturan-benturan gigi yang bergemeretakan keras tak terkendalikan lagi.
“Oh, ... betapa dinginnya.” Saya menggumam.
Melihat keadaan dan mendengar keluhan saya tersebut, ketiga-tiganya menjadi panik sekali. Bergegas mereka masuk ke dalam hotel untuk mengambil beberapa selimut yang tebal untuk menutupi seluruh tubuh saya.
Salah seorang dari ketiga laki-laki itu juga berusaha menuangkan segelas susu hangat ke dalam mulut saya. Ia mengira cairan panas tersebut bisa membantu mengurangi rasa dingin yang sedang menguasai tubuh saya.
Tetapi kelenjar-kelenjar di dalam leher saya sudah menjadi lumpuh dan tidak berfungsi lagi. Oleh karena itu, tenggorokan saya tidak mampu untuk menelannya, sehingga susu hangat tersebut hanya terkumpul di dalam rongga mulut saya saja. Ketika ia menjadi penuh, cairan itu meluap dan mengalir keluar melalui sisi mulut saya, dan akhirnya jatuh membasahi ubin lantai di samping bawah kursi saya.
Sekilas mata saya menatap dua mobil yang diparkir di halaman depan hotel. Saya merasa yakin, itu adalah mobil-mobil mereka.
Sambil memandang wajah-wajah mereka secara bergantian, saya memohon pertolongan mereka sekali lagi: “Pak, … bukankah itu mobil-mobil Anda? Apakah Anda bisa mengantarkan saya pergi ke Victoria Hospital untuk berobat? Tolonglah saya, Pak! Saya sangat memerlukan suntikan anti-toksin saat ini juga. Jika tidak, … sebentar lagi saya pasti akan mati terkapar di hadapan Anda bertiga!”
Laki-laki yang termuda memandang mobilnya, lalu menatap mata saya lagi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oh, … tidak, … tidak white man! Jangan memakai mobil saya. Tunggu saja kedatangan ‘ambulance’! Biarlah mobil itu saja yang membawa engkau pergi ke rumah sakit! Maaf ya!” Katanya sambil menepuk-nepuk bahu saya tanpa menunjukkan rasa iba sama sekali.
Sebenarnya pribadi saya cukup sabar. Jarang sekali saya menjadi marah. Pertikaian-pertikaian kecil, apalagi … pertengkaran-pertengkaran yang berkepanjangan, selalu saya hindari!
Tetapi malam itu, kesabaran saya benar-benar sudah dicobai olehnya. Ia tahu keseriusan masalah yang sedang saya hadapi pada saat itu. Saya sangat membutuhkan pertolongannya! Tetapi dengan tega sekali ia menolak, hanya oleh karena ia terlampau pelit untuk mengorbankan waktunya, dan terutama, … oleh karena ia tidak mau memboroskan bensinnya.
Seketika itu juga timbul di dalam hati saya keinginan yang amat besar untuk memberi pelajaran tata-krama kepadanya mengenai hal-hal peri kemanusiaan! Saya merasa yakin sekali, satu-satunya jalan untuk melaksanakan hasrat tersebut, … saya harus menggunakan kekerasan! Saya ingin menghajar wajahnya dengan segenap kekuatan saya!
Dan … oleh karena ia berada di samping kiri saya, saya tahu, saya harus menggunakan kepalan tangan kanan untuk meninju wajahnya! Hanya sayang sekali, … otot-otot lengan tangan kanan saya sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mengerjakan perintah-perintah yang diberikan oleh otak saya kepada mereka.
Menyadari bahwa saya sudah tidak berdaya untuk menggunakan kepalan tangan kanan saya untuk menghajar wajahnya, saya menjadi semakin naik pitam lagi!
Pikiran dan hati saya yang sedang dipenuhi oleh kemarahan yang memuncak berusaha mempertimbangkan tindakan-tindakan yang harus segera saya lakukan: “Bukankah lengan dan tangan kiriku masih berfungsi? Bukankah racun tersebut masih belum mempengaruhi kesehatannya? Baiklah, … aku akan menggunakannya untuk meraih kerah baju orang ini. Aku akan membenturkan wajahnya pada keningku dengan sekuat tenaga, agar tulang hidungnya hancur!”
Tetapi … sebelum hal itu bisa saya kerjakan, untuk ketiga kali-nya saya mendengar suara lembut seorang laki-laki yang baru saja malam itu menasehati saya di tepi jalan raya pantai Tamarin Bay, dan yang tak lama kemudian menantang saya untuk mengemis belas kasihan dari ketiga laki-laki pengemudi taksi di dalam pekarangan pompa bensin Caltex.
Kali ini dengan jelas sekali saya mendengar ia berbisik di telinga kanan saya: “Anak muda, jika engkau masih berhasrat untuk melakukan kehendakmu itu, racun yang sekarang sudah menjalar di dekat jantungmu akan segera menyebabkan kematianmu!”
“Betul juga.” Saya tersentak kaget dan berpikir: “Racun tersebut tentu sudah menjalar di dekat jantungku. Oleh karena itu alangkah baiknya, jika aku menenangkan diri terlebih dahulu. Kemarahan yang berlebih-lebihan hanya akan merangsang cepatnya jalan peredaran darahku saja!”
Karena saya tidak mempunyai keinginan untuk menatap wajahnya lagi, saya langsung memalingkan kepala saya! Saya tahu, jika hal itu tidak segera saya lakukan, api kemarahan dan rasa benci di dalam hati saya terhadapnya akan menjadi semakin berkobar saja!
Tetapi saya berjanji, … pada suatu hari saya pasti akan datang kembali ke tempat itu untuk mencari dia di sana. Saya bersumpah, saya akan menuntut balas atas perbuatannya yang jahat dan tidak berperi-kemanusiaan itu.
“Awas kau!” Gumam saya dengan hati yang amat geram!
(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)
SEKILAS DARI KEABADIAN (12)
Kesaksian Ian McCormack
RENAULT 4, SEBUAH AMBULANS
No comments:
Post a Comment